Rabu, 23 Februari 2011

SIKAP RIDHO ATAS KETENTUAN ALLAH

SIKAP RIDHO ATAS KETENTUAN ALLAH


I.         PENDAHULUAN
Telah menjadi sunnatullah bahwa setiap kejadian, mengandung kausalitas dan hikmah. Ada sebab dan ada akibat, disamping bertujuan. Adalah mustahil suatu cita-cita berhasil hanya dengan modal hayal dan bermalas-malas, tanpa suatu kerja dan usaha. Maka wajib ada factor usaha atau ikhtiar dan bertanggungjawab dari manusia. Usaha dan doa adalah kewajiban manusia, tetapi kepastian terakhir ada di tangan Allah (Nasruddin Razak: 1973: 221) Sebab Tuhan bukan semata-mata sebagai Causa Prima (Sebab Pertama) dan Ultimate yang principal, tetapi lebih dari itu, Dia adalah inti kenormatifan (Amien Syukur: 2004: 44) yang harus diimbangi dengan gerak kreatifitas manusia (ikhtiar- kasb). Persoalan seputar inilah yang di dalam terminology tauhid dikenal dengan istilah Qadha dan Qadar Allah[1].
Kepercayaan pada taqdir memberikan keseimbangan jiwa, tidak berputus asa karena sesuatu kegagalan dan tidak pula membanggakan diri atau sombong karena kemajuran, sebab segala sesuatu tidak hanya bergantung pada diri sendiri, malainkan juga kepada keharusan universal, mengembalikan segala sesuatu pada Allah SWT. “agar kamu tidak berputus asa atas kemalangan yang menimpamu, dan tidak pula terlalu bersuka ria dengan kemujuran yang datang padamu” (QS. Al-Hadid (57): 23.)
Kesiapan yang berimbang antara mendapatkan nikmat dan niqmah (cobaan)  inilah yang harus dimiliki oleh semua orang. Namun sering kali manusia hanya siap untuk menerima nikmat, dan tidak siap untuk menerima cobaan dan ujian Allah swt, disinilah diperlukan adanya Ridho  dalam menerima semua ketentuan Allah SWT.
Ridho merupakan makom atau stasiun-stasiun yang harus dilewati oleh seorang salik (pencari jalan Tuhan) setelah ia dapat melewati fase taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, dan cinta. (Amin Syukur: 1999: 49).

II.      SIKAP RIDHO ATAS KETENTUAN ALLAH
a.      Pengertian Ridho
Ridho  adalah kata sifat yang mudah diucapkan, namun juga kata kerja yang sulit dilakukan. Ridho  terhadap ketentuan Allah SWT secara mutlak berarti tidak menunjukkan keengganan ataupun penentangan terhadap takdir-Nya, manis atau pahit. Abdullah ibn Alwi ibn Muhammad al-Haddad al-Husaini (tt: 37) mengatakan:
“Ridho terhadap ketetapan Allah adalah buah termulya dari Mahabbah dan Ma’rifah. Salah satu ukuran cinta adalah ridho terhadap perbuatan kekasihnya, baik itu manis ataupun pahit adanya. Oleh karenanya,  ridho dengan makna yang demikian adalah suatu keniscayaan untuk menyatakan keimanan seseorang terhadap Tuhan-Nya.

Dalam makna yang lain, Ridho  dimutlakkan sebagai sikap senang dan bahagia bagaimanapun keadaan hidup yang dialami (Ma'luful Anam, Lc: 2010). Sebagaimana ucapan para arif billah, “Ridho  adalah mengeluarkan seluruh ketidaksukaan terhadap ketentuan takdir dari dalam hati, sehingga tak ada padanya kecuali rasa senang dan bahagia terhadap ketentuan itu atau ia adalah kebahagiaan hati dalam merasakan pahitnya takdir sebagaimana merasakan manisnya atau juga ia adalah menerima hukum ilahi dengan senang hati” (Ahmad Fadlun ZR: 2010: 2).
Al-Samarkandi dalam “Tanbih al-Ghafilin” mengatakan:
Keputusan Allah itu jauh lebih baik dari pada ketetapan seseorang terhadap dirinya sendiri,  (Ketahuilah wahai anak cucu Adam), apa yang telah ditetapkan Allah, (namun) kamu benci itu (sesungguhnya) lebih baik dari pada keputusanmu sendiri yang kamu sukai (Al-Samarkandi: tt: 221).

Rabi’ah  al-Adawiyah, Seorang sufi wanita, pernah ditanya,” Kapankah seorang hamba menjadi Ridho?”,  Ia menjawab : “Bila ia merasa bahagia oleh keburukan (takdir) sebagaimana ia merasa bahagia oleh kenikmatan”. Sebagian Ulama’ salaf juga mengatakan: Jikalau tubuhku hancur karena sebab penyakit kusta yang menggerogoti dagingku, itu lebih baik dari pada saya harus mengatakan atas ketetapan Tuhan: “Seandainya hal ini tidak terjadi?”. (Al-Ghazali: tt: IV: 340).
Ridho atas ketentuan Allah berarti ikhlas dan nrimo atas semua ketentuan yang Allah berikan, baik itu berupa nikmat maupun  ujian.  Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Dien dalam bab al-Qaul fi Ma’na al-Ridho bi Qadhai Allah wa Haqiqatih wa Ma Warada fi Fadhilatih (tt: IV: 333-345), menjelaskan bahwa Ridho adalah buah dari cinta, Ia merupakan maqam tertinggi yang dapat mendekatkan diri pada Allah.  Ridho merupakan sababu dawami raf’i al-hijab atau sebab yang dapat melanggengkan untuk menghilangkan hijab (penghalang) dalam mendekatkan diri pada Allah SWT.
Walaupun demikian, sebenarnya ridho tidak dapat digambarkan, adapun jika ridho timbul sebagai akibat dari cinta, mahabbah, bila gambaran mahabbah dan mabuk cinta, maka tidak dapat disamarkan bahwa cinta menyebabkan ridho terhadap tingkah dan perbuatan orang yang dicintainya, mahbubih, bahkan sampai-sampai panca indera tidak dapat merasakan sakit atas luka yang mengenai tubuhnya, sebab jika hati (al-kalb) telah tenggelam dimabukkan oleh sesuatu yang mengasikkan, ia tidak dapat merasakan apapun selain hal tersebut. (al-Ghazali: IV: 337).
Dari ilustrasi diatas, kemudian bisa menimbulkan rasa “cuek” terhadap apa yang diperbuat oleh Sang Kekasih, apakah itu baik atau buruk, maka akan diterima dengan lapang dada dan ridho, sebagai mana ucapan Umar r.a :
Aku tidak akan perduli, saya akan jadi kaya atau miskin, karena saya tidak mengetahui mana yang terbaik dari keduanya” (al – Ghazali: IV: tt: 343).

Berbagai terpaan cobaan dan ujian yang diberikan oleh Tuhan, haruslah senantiasa diterima dengan penuh kerelaan dan lapang dada, karena bukankah tidak ada seorang mukminpun yang mampu merasakan manisnya iman kecuali dia memperoleh timpahan bencana, kemudian ia ridho dan bersabar, sabda Nabi : “barang siapa yang sakit semalam, serta sabar dan ridho kepada Allah Ta’ala, maka dosa-dosanya bersih, laksana baru dilahirkan ibunya” (Al-Ghazali: tt: 21).

b.      Menerima Ketentuan Allah dengan Lapang Dada
Seorang salik yang sudah bisa menata hatinya dengan ridho, maka ia tidak menentang cobaan dari Tuhan, tetapi bahkan menerimanya dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan tidak pula minta dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika mala petaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta pada Tuhan. Di sini ia telah dekat dengan Tuhan dan ia pun akhirnya sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan mata hatinya, untuk selanjutnya ia akan bersatu dengan Tuhan. (Amin Syukur : 1999: 52).
Bahkan Abu Sulaiman al-Darani mengatakan: “Seandainya semua makhluk dimasukkan ke dalam Surga, dan aku dijerumuskan ke Neraka, maka aku akan ridho terhadap hal itu”. (Al-Ghazali: tt: IV; 339).
Sikap menerima segala ketentuan Allah dengan perasaan senang, dan ridho ini akan membuahkan ridho Allah, dalam sebuah hadits disebutkan:


“Barang siapa yang ridha atas rizqi sedikit yang diberikan oleh Allah, maka Allah juga Ridha atas amal sedikitnya”.

Walaupun hadits ini dinilai dhaif, (al-Ghazali: IV: tt: 334), namun hal ini bisa menjadi  motivasi bersama bahwa persoalan ridho atas ketentuan Allah adalah  persoalan yang sangat utama. Ridho Allah adalah dambaan setiap muslim yang menyadari bahwa itulah harta termahal yang pantas diperebutkan oleh manusia. Tanpa ridho Allah, hidup kita akan hampa,kering, tidak dapat merasakan nikmat atas segala apa yang telah ada di genggaman kita, bermacam masalah silih berganti menyertai hidup kita. Harta berlimpah, makanan berlebih namun  ketika tidak  ada ridho-Nya, semua menjadi hambar. Tidak tahu kemana tujuan hidup, merasa bosan dengan keadaan, seolah hari berlalu begitu saja,begitu cepat namun tanpa disertai dengan perubahan kebaikan hari demi hari.
Apa sebenarnya ridho Allah?, Mari simak ayat Al-Quran yang membahas hal ini:
“Maka berikanlah haknya kepada kerabat dekat,  juga kepada  orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalananan. Itulah yang lebih baik bagi orang yang mencari keridhaan Allah. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ar-Rum : 38).

Dalam  Ayat diatas,  ridho Allah ternyata di-lafald-kan dengan wajha Allah. Sering kita dengar perumpamaan ‘ih orang itu cari muka [wajah]‘  maksudnya cari perhatian.  Demikian pula jika kita mencari  “wajah Allah” atau perhatian  Allah atau yang lebih populer ridho-Nya, maka ada beberapa hal yang mesti kita lakukan, yaitu: memberikan  hak kerabat dekat, hak orang miskin, hak orang yang sedang dalam perjalanan.
Memberikan hak orang yang dimaksud Allah bukan hanya bisa dilakukan oleh orang yang kelebihan harta namun bisa dilakukan oleh orang yang sadar dan ikhlas bahwa letak ketentraman hidup itu ada pada restu, ridho dan rahmat Allah. Boleh jadi rezeki yang Allah berikan pada kita hanya pas untuk makan sehari hari dan biaya hidup keluarga, namun ketika Allah telah berkenan memberi ridho-Nya, rezeki yang pas itu menjadi berkah, sehingga hari hari yang dilalui dalam hidup penuh dengan rasa syukur.
Orang yang mengenal  (ma`rifat)  kepada Tuhan,  akan merasa ridho  atas apapun yang dianugerahkan Tuhan kepadanya, selanjutnya iapun faham apa yang disukai dan yang tidak disukai oleh Nya. Jika orang merasa hidupnya diridhoi Tuhan maka ia pun merasa dirinya bermakna, dan dengan merasa bermakna itu, ia merasa sangat berbahagia. Sebaliknya jika seseorang merasa hidupnya tak diridhoi Tuhan, maka ia merasa semua yang dikerjakanya tidak berguna, dan bahkan iapun merasa dirinya tak berguna.
 Orang yang merasa kehadirannya berguna bagi orang lain maka ia akan memiliki semangat hidup, semangat bekerja, semangat berjuang, yang berat terasa ringan, pengorbanannya terasa indah. Sedangkan orang yang merasa dirinya tak berguna maka ia tidak memiliki semangat hidup, tidak memiliki semangat bekerja, merasa sepi di tengah keramaian dan lebih sepi lagi dalam kesendirian.
Banyak hadits yang memerintahkan kita untuk selalu ridho atas semua pemberian Tuhan, daantaranya sebagaimana yang ditulis al-Ghazali, adalah sebagi berikut:
“Hai golongan orang fakir, berikanlah ridho (terhadap ketetapan) Allah dari lubuk hatimu, maka kamu akan beruntung dengan sebab pahala kefakiranmu, jika tidak, maka tidak dapat pahala”. (al-Ghazali: IV: tt: 337).

Bahkan, seseorang yang tidak mau ridho atas ketetapan Tuhan, disuruh untuk mencari tuhan selain Allah:
Aku adalah Allah, Tidak ada Tuhan selain Aku, siapa yang tidak sabar terhadap cobaan-Ku, tidak bersyukur terhadap nikmat-Ku, dan tidak ridho terhadap keputusan-Ku, maka buatlah tuhan selain Aku”. (al-Ghazali: IV: tt: 337).
Dalam redaksi yang dikutip oleh Abdullah al-Husaini, berbunyi:
“barang siapa yang tidak ridho terhadap keputusan-Ku, dan tidak sabar atas cobaan-Ku, hendaklah ia melangkah mencari tuhan selain-Ku. (Abdullah al-Husaini: tt: 37).

c.       Bercermin pada Hati Nurani untuk mencapai Ridha
Semangat mencari ridho  Tuhan sudah barang tentu hanya dimiliki oleh orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang tidak mengenal Tuhan, tidak mengenal agama, maka boleh jadi pandangan hidupnya sesat dan perilakunya juga sesat, tetapi mungkin juga pandangan hidupnya mendekati pandangan hidup orang beragama minus Tuhan, karena toh setiap manusia memiliki akal yang besa berfikir logis dan hati yang di dalamnya ada nilai kebaikan.
Metode mengetahui ridho  Tuhan juga diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya kepada hati sendiri,  istafti qalbaka. Al-Ghazali  bahkan memandang bahwa hakikat manusia adalah hati (qalb) (Dr. Simuh: 996: 87), Ia menggambarkan hati manusia sebagai “cermin”, sebagaimana dalam ungkapannya:  “itulah hati, apabila manusia mengenal hatinya, maka sungguh ia akan mengenal diri pribadinya. Dan apabila ia mengenal diri pribadinya, maka sungguh ia akan mengenal Tuhannya. Sebaliknya, jika manusia jahil terhadap hatinya, maka sungguh ia jahil terhadap dirinya, dan apabila ia jahil terhadap dirinya, maka sungguh ia jahil terhadap Tuhannya. Dan barang siapa jahil terhadap hatinya, maka terhadap lainnya jauh lebih jahil lagi” (al-Ghazali: III: tt: 2)
Ungkapan diatas, menunjukkan betapa pentingnya hati, kalbu manusia[2], karena  orang bisa berdusta kepada orang lain, tetapi tidak kepada hati sendiri . Hanya saja kualitas hati orang berbeda-beda. Hati yang sedang gelap, hati yang kosong, hati yang mati tidak bisa ditanya. Hati juga sering tidak konsisten, oleh karena itu pertanyaan yang  pali ng  tepat adalah  kepada hati nurani, atau ke lubuk hati yang terdalam. Nurani berasal dari kata nur,  nuraniyyun yang artinya cahaya, yakni “cahaya ketuhanan” yang ditempatkan Tuhan di dalam hati manusia,  nurun yaqdzifuh Allah fi al- qalb. Jika hati sering tidak konsisten, maka hati nurani selalu konsisten terhadap kejujuran dan kebenaran. Orang yang nuraninya hidup maka ia selalu menyambung dengan ridho  Tuhan. Problem hati nurani adalah cahaya nurani sering tertutup oleh keserakahan, egoisme dan kemaksiatan.
Persoalan dan problematika hidup manusia memang mengalami pasang surut, susah – senang, sedih – bahagia, dll merupakan sunnatullah yang memang harus dihadapi dengan lapang dada. Karena sudah menjadi hal yang lumrah bahwa semua yang terjadi pasti terkandung hikmah, adapun hikmah dibalik sikap ridho atas semua ketentuan Allah itu adalah:
a.       Membersihkan dan memilih mana orang mukmin sejati dan orang munafiq;
b.      Mengangkat derajad dan menghapus dosa;
c.       Mengungkapkan hakikat manusia itu sendiri, sehingga Nampak jelas kesabarannya dan ketaatannya;
d.      Membentuk dan menempa kepribadiannya menjadi pribadi yang benar-benar tahan menderita dan tahan uji;
e.       Latihan dan pembiasaan dalam berprinsip. (Hajjudin Alwi: 200: 43).
Untuk mencari ridho Allah, para kaum sufi senantiasa mewirid-kan do’a yang berbunyi:

“Oh Tuhanku, Engkaulah Tujuanku dan ridha-Mulah yang kucari. Anugerahilah aku akan cinta kasih-Mu dan ma’rifat-Mu” (Kharisudin Aib: 999: 96)

III.             KESIMPULAN
1.      Ridho  adalah kata sifat yang mudah diucapkan, namun juga kata kerja yang sulit dilakukan. Ridho  terhadap ketentuan Allah swt secara mutlak berarti tidak menunjukkan keengganan ataupun penentangan terhadap takdir-Nya, manis atau pahit.
2.      Dalam makna yang lain, Ridho  dimutlakkan sebagai sikap senang dan bahagia bagaimanapun keadaan hidup yang dialami
3.      Ridho atas ketentuan Allah berarti ikhlas dan nrimo atas semua ketentuan yang Allah berikan, baik itu berupa nikmat maupun  ujian. 
4.      Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Dien menjelaskan bahwa Ridho adalah buah dari cinta, Ia merupakan maqam tertinggi yang dapat mendekatkan diri pada Allah.  Ridho merupakan sababu dawami raf’i al-hijab atau sebab yang dapat melanggengkan untuk menghilangkan hijab (penghalang) dalam mendekatkan diri pada Allah SWT
5.      Metode mengetahui ridho  Tuhan diajarkan oleh Nabi dengan cara bertanya kepada hati sendiri,  istafti qalbaka.


DAFTAR PUSTAKA
Nasruddin Razak, Drs., Dienul Islam, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1973
Amien Syukur, MA, Prof. Dr. H. M. Tasawuf Sosial, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2004,
Ahmad Fadlun ZR, “Menggapai Ridho Ilahi, Sulitkah Ia ?”, makalah pengantar buka puasa dalam diskusi Komunitas Lembaga Kajian dan Layanan Informasi Masyarakat (eL-KLIM) Wonosobo,  25 Agustus 2010
Achmad Mubarak, MA, Dr. Jiwa dalam Al-Qur’an: Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern, Paramadina, Jakarta, 2000.
Al- Ghazali , Ihya’ Ulum al-Dien, Juz: IV,  Dar Ihya al-Kutub al- Arabiyah, ttp, tt.
Hajudin Alwi, “Blessing in Disguise”, Majalah Derap Guru, No. 128 Th. X – September 2010
Ma'luful Anam, Lc,  Mencari Mardlatillah”, pesantrenvirtual.com/index.php/bulletin jumat/1161-mencari-mardlatillah 
Simuh, Dr. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yayasan Bentang Budaya, Jogjakarta, 1996.


[1] Dari rukun iman yang ke enam inilah kemudian muncul persoalan keadilan Tuhan, dehingga menjadi polemic dan perdebatan antara kelompok mutakallimin: Murji’ah, Qadariyah, jabariyah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah – Maturidiyah.  
[2] Tentang makna  term “qalb” masih diperdebatkan oleh banyak kalangan, sebagian orang menyandingkan  term “qalb” dengan istilah yang menyebutnya secara tidak langsung, semisal jism, ‘aql, ruh, dan bashirah, semuanya bersifat multi interpretasi sehingga para ulama dibuat sibuk memperdebatkan maknanya. Tentang konsepsi tersebut dapat dirujuk pada. Dr. Achmad Mubarak, MA, Jiwa dalam Al-Qur’an: Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern, Paramadina, Jakarta, 2000. Hal. 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar