Kamis, 03 Februari 2011

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM DI LINGKUNGAN NAHDLOTUL ULAMA

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM
DI LINGKUNGAN NAHDLOTUL ULAMA
Oleh : Safrudin, S.Sos.I

I.              PENDAHULUAN
Dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia. Nahdhatul Ulama (NU) merupakan organisasi masa keagamaan yang cukup punya andil besar. NU mempunyai jaringan kekuatan yang berpengaruh di Indonesia, di samping organisasi-organisasi masa keagamaan yang lain seperti : Muhamadiyyah. Al-Irsyad. Persatuan Umat Islam (PUI). Perti (Persatuan Tarbiyah Islam). Syarikat Islam, Al-Wasliyyah, Persis, Mathlaul Anwar dan lain-lain.
Peran NU tersebut bias dilihat dari berbagai lembaga pendidikan yang dikelola oleh NU dan juga oleh para warganya dalam mengelola lembaga pendidikan di lingkungan NU baik berupa pondok pesantren, madrasah maupun sekolah-sekolah.
NU merupakan oraganisasi keagamaan yang mengurusi bidang-bidang sosial, pendidikan, dakwah termasuk ekonomi. Sejak awal berdirinya, NU telah banyak terlibat dalam penanganan pendidikan. Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari tokoh pendiri NU, dikenal sebagai pendiri Pesantren Tebuireng Jombang, yang mengelola pendidikan dengan jumlah santri yang cukup banyak dan pada waktu itu dijadikan sebagai kiblat dari pesantren-pesantren di Indonesia. Demikian pula KH. Wahab Hasbullah, salah seorang pendiri NU lainnya, juga dikenal sebagai pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang yang mengelola lembaga pendidikan melalui pesantren. Demikian pula para tokoh NU lainnya yang hampir semuanya mengelola lembaga pendidikan melalui pesantren maupun melalui lembaga pendidikan madrasah maupun sekolah.
Pada awal periodenya, kegiatan NU lebih banyak dilakukan dalam rangka menjaga kemurnian faham yang diyakininya menyebarkan pandangan-pandangan yang benar, mengambil bagian dalam membina masyarakat di bidang sosial, bidang pendidikan dan bidang perekonomian.[1]
Dalam perkembangan berikutnya, NU yang didirikan pada tahun 1926 ini menjadi organisasi sosial keagamaan yang terbesar di Indonesia yang memiliki kontribusi besar dalam dunia pendidikan. Banyak tokoh-tokoh NU yang cukup berjasa bukan hanya di bidang pendidikan saja, tetapi juga dalam berbagai aspek antara lain : KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim (mantan Menteri Agama), KH. Zainul Arising (mantan ketua DPR - GR), KH. Zainal Mustafa (tokoh pejuang terhadap Belanda di Tasikmalaya), KH. Saifuddin Zuhri, KH. Dr. Idham Chalid (mantan ketua DPR/MPR RI) bahkan KH. Abdurrahman Wahid (mantan RI ke-4). Empat yang disebut pertama bahkan oleh pemerintah RI diakui sebagai pahlawan nasional.[2]

II.           SEJARAH LAHIRNYA NU
Nahdhatul Ulama (NU) berarti “kebangkitan ulama”.[3] Organisasi Islam terbesar di Indonesia ini tepatnya berdiri di Surabaya pada 31 Januari 1926 bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H.[4] yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari bersama para ulama sefaham seperti KH. Wahab Hasbullah serta beberapa ulama pesantren lain. Namun berdirinya jami’iyah ini sesungguhnya hanya perkembangan tradisi keagamaan yang telah lama mengakar.[5] Karena sebenarnya secara komunitas, kelahiran NU sudah ada sejak Islam pertama kali masuk ke Indonesia.
Jauh sebelum lahir sebagai organisasi, NU telah ada dalam bentuk komunitas (jama’ah) yang diikat oleh aktifitas sosial keagamaan yang mempunyai karakter Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Wujudnya sebagai organisasi tak lain adalah “penegasan formal dan mekanisme informal para ulama sefaham”.[6] Arti penting dibentuknya organisasi ini tidak lepas dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi jamaah tradisional berhadapan dengan muslim faham pembaharuan Islam yang ketika itu telah terlembagakan.
Masuknya faham pembaharuan ke Indonesia diawali oleh semakin banyaknya umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci, sejak dibukanya Terusan Zues (1869). Bersamaan dengan itu, di Timur Tengah sedang menebak ajaran pembaharuan Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian dikenal dengan Wahabiyyah, maupun pemikiran Pan Islamisme Jamaluddin Al-Afghani yang dilanjutkan Muhammad Abduh. Tak pelak kontak pemikiran intensif antar para jamaah haji Indonesia dengan faham pembaharuan ini berlangsung. Setelah kembali ke tanah air, para haji membawa pemikiran itu untuk memurnikan ajaran dari unsur-unsur yang dianggap tersesat dari tradisi di dunia Islam.[7]
Tidak semua kalangan menerima faham pembaharuan itu secara bular-bulat. Sekelompok ulama pesantren (yang nota bene-nya juga haji) menilai bahwa penegakan ajaran Islam secara murni tidak selalu berimplikasi perombakan total terhadap tradisi lokal. Tradisi ini bias saja diselaraskan dengan ajaran Islam secara luwes. Kalangan yang dikenal sebagai kelompok ulama tradisional ini mengamati upaya purifikasi ajaran Islam itu dengan cemas. Sebab tak mustahil jika hal itu dilakukan secara prontal dan radikal akan mengguncang masyarakat. Terlebih lagi upaya itu ternyata berindikasi pendobrakan tradisi keilmuan yang selama ini dianut oleh para ulama pesantren. Perkembangan inilah yang dinilai sebagai ancaman terhadap kelestarian paham ahlus sunnah wal jama’ah yang mereka anut.[8] Karena itu, mereka berupaya membuat pengimbang bagi arus gerakan pembaharuan itu, dan dalam alur inilah, antara lain NU terbentuk.
Di samping itu, arti penting lain pembentukan NU adalah berkaitan dengan upaya pemupukan semangat nasionalisme di tengah iklim kolonialisme saat itu. Karena pada kenyataannya, para kyai pesantren adalah tokoh-tokoh pejuang penantang kolonialisme.
Menurut Choirul Anam, selain motif agama dan nasionalisme, lahirnya NU juga disorong oleh semangat untuk mempertahankan faham ahlus sunnah wal jama’ah.[9] Karena munculnya faham purifikasi ajaran Islam di kalangan kaum muslimin, sebagaimana disebutkan di atas tidak harus secara frontal dan gradual, tetapi dengan tetap memperhatikan tradisi. Adapun para ulama pendiri NU, antara lain :[10]
1.      KH. Hasyim Asy’ari                                    (Jombang)
2.      KH. Wahab Hasbullah                                (Jombang)
3.      KH. Bisri Sansuri                                        (Jombang)
4.      KH. R. Asnawi                                            (Kudus)
5.      KH. Ma’shum                                              (Lasem)
6.      KH. Ridwan                                                (Semarang)
7.      KH. Nawawi                                               (Pasuruan)
8.      KH. Nahrawi                                               (Malang)
9.      KH. Ridwan                                                            (Surabaya)
10.  KH. Abdullah Ubaid                                   (Surabaya)
11.  KH. Abdul Halim Leuwinmunding                        (Cirebon)
12.  KH. Muntaha                                              (Madura)
13.  KH. A. Dahlan Abdul Qohar                      (Kertosono)
14.  KH. Abdullah Faqih                                    (Gresik)
15.  Syekh Ghanaim Al-Misri                             (Asal Mesir)
Dan beberapa ulama lainnya yang tidak tercatat.
Maksud perkumpulan NU ialah memegang teguh salah satu madzhab dari Imam madzhab yang berempat, yaitu 1. Syafi’I, 2. Maliki, 3. Hanafi, 4. Hambali dan menegakkan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam. Untuk mencapai maksud itu, maka diadakan usaha-usaha :
1.      Mengadakan perhubungan diantara ulama-ulama yang bermadzhab tersebut.
2.      Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar supaya diketahui apakah kitab itu termasuk kitab-kitab ahlus sunnah wal jama’ah atau kitab-kitab dari ahlu bid’ah.
3.      Menyiarkan agama Islam berasaskan pada madzhab tersebut di atas dengan jalan apa saja yang baik.
4.      Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan Islam.
5.      Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau dan pondok-pondok, begitu juga dengan hal ihwalnya anak-anak yatim dan orang-orang fakir miskin.
6.      Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan dan dan perusahaan yang tidak dilarang oleh syara’ agama Islam.[11]
Dalam perkembangan berikutnya, NU telah mempunyai cabang-cabang di berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan kini telah membuka cabang-cabang di luar negeri seperti : Mesir, Singapura, Saudi Arabia dan Amerika Serikat.
Sebagai organisasi keagamaan terbesar, NU telah banyak berkiprah di berbagai kancah strategis perjuangan bangsa. Di samping sebagai organisasi sosial keagamaan sebagaimana awal berdirinya, NU juga pernah menjadi partai politik yang terjun dalam politik praktis (1952-1971).[12] Dan setelah itu NU berfungsi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dan pada tahun 1984 NU menyatakan keluar dari PPP dan kembali sebagai jami’ah diniyah dengan semboyan kembali ke khittah 26.

III.        PENDIDIKAN DI LINGKUNGAN NU
Sebagaimana diketahui maksud terbentuknya jam’iyah NU, amat erat hubungannya dengan penyiaran agama Islam (dakwah) dan pendidikan Islam.
Pada mulanya NU merupakan organisasi keagamaan, akan tetapi dikarenakan sebagai organisasi yang lahir dan terbentuk pada masa menguatnya perjuangan pergerakan nasional, maka NU tidak dapat terlepas dari langkah-langkah yang bervisi dan berjiwa pergerakan anti penjajah, atau terlibat dalam bidang politik, diantaranya :
1.     Menolak subsidi yang ditawarkan pemerintah untuk madrasah NU dan menolak kerja rodi yang dibebankan kepada bangsa Indonesia.
2.     Menolak rencana ordonansi perkawinan tercatat.
3.     Menolak diadakan milisi.
4.     Mendukung tuntutan berparlemen.
5.     Mendidik mental beragama, diantaranya mendirikan pondok pesantren.[13]
Dalam rangka memajukan masyarakat yang masih terbelakang dikarenakan kurangnya pendidikan yang memadai, dan untuk membentuk masyarakat yang mempunyai akhlaq yang mulia, maka NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang berdirinya dari pesantren mencoba untuk memajukan masyarakat melalui jalur pendidikan. Tidaklah mengherankan apabila dengan kehadiran Pesantren sebagai basis atau sumber yang mampu menyediakan tenaga-tenaga untuk menjadi dua fungsi yaitu : ulama’ dan politisi. Beberapa ulama dan politisi lahir dari pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga NU.
Santri-santri tamatan pesantren pada umumnya mengikuti jejak politik para ulama, dimana perkembangan pendidikan di pesantren terus maju. Di beberapa pesantren selain mengajarkan pendidikan model salaf, juga didirikan sekolah-sekolah agama, misalnya : Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, juga sekolah-sekolah misalnya : SD, SLTP, SMU, SMK bahkan perguruan tinggi.
Sebagai organisasi sosial keagamaan yang menangani banyak bidang, maka NU memiliki beberapa lembaga yang menangani berbagai masalah. Antara lain bidang pendidikan yang ditangani Lembaga Pendidikan Ma’arif.
Pada tahun 1936 (1356 H), komisi perguruan NU berhasil menyusun reglement tentang susunan madrasah-madrasah NU yang harus dijalankan mulai ditetapkannya. Adapun susunan madrasah NU tersebut adalah :
1.      Madrasah Awaliyah, lama belajar 2 tahun.
2.      Madrasah Ibtidaiyah, lama belajar 3 tahun.
3.      Madrasah Tsanawiyah, lama belajar 3 tahun.
4.      Madrasah Mualimim Wustha, lama belajar 2 tahun.
5.      Madrasah Mualimin Ulya, lama belajar 3 tahun.[14]
Sesuai dengan perkembangan pemikiran bidang pendidikan, dan untuk perbaikan-perbaikan sistem dan kelembagaan pendidikan di lingkungan NU, maka NU bagian Ma’arif (pendidikan dan pengajaran) dalam suatu konferensi besar yang berlangsung pada 23-26 februari 1954 telah diambil keputusan mengenai susunan sekolah / madrasah di lingkungan NU sebagai berikut :
1.      Raudhotul Atfal (TK), lama belajar 3 tahun.
2.      Sekolah Rakyat (SR), lama belajar 6 tahun.
3.      SMP NU, lama belajar 3 tahun.
4.      SMA NU, lama belajar 3 tahun.
5.      SGB NU, lama belajar 4 tahun.
6.      SGA NU, lama belajar 3 tahun.
7.      Madrasah Mualimin Pertama (MMP), lama belajar 3 tahun.
8.      Madrasah Mualimin Atas (MMA), lama belajar 3 tahun.
9.      Mualimin-Mualimat NU, lama belajar 5 tahun.[15]
Dewasa ini sistem dan jenjang lembaga pendidikan formal di lingkungan NU menyesuaikan jenjang yang berlaku, baik di lingkungan Departemen Agama, maupun di Departemen Pendidikan Nasional, termasuk di tingkat Perguruan Tingginya.
Dewasa ini NU bergerak di bidang sosial dan pendidikan agama menurut faham yang diyakini yaitu ahlus sunnah wal jama’ah. Dengan usaha ini maka NU mempunyai banyak sekali pondok pesantren dan madrasah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air Indonesia. Pendidikan pesantren menyebar terutama di pedesaan, dimana pada umumnya terdapat tradisi kegamaan yang sangat kuat. Hampir  semua pesantren besar di Indonesia adalah milik NU. Misalnya Pondok Pesantren Tebuireng, Tambak beras, Denanyar, Peterongan di Jombang, Lirboyo Kediri, Kajen Pati, Futuhiyyah Mranggen Demak, Al-Asy’ariyyah Wonosobo, Tegalrejo Magelang, Al-Hidayah Purwokerto, Krapyak Jogjakarta, Buntet Corebon, Cipasung Tasikmalaya, Al-Masturiyah Sukabumi, As-Shidiqiyah Jakarta, Mustafa Purba Tapanuli dan lian-lain.
Di Pesantren-pesantren disamping menggunakan sistem pengajaran sebagaimana berlangsung selama ini – menggunakan metode sorogan dan wetonan, juga beberapa pesantren membuka lembaga pendidikan formal bidang agama, misalnya MI, MTs, MA. Juga membuka pendidikan formal bidang umum : SD, SLTP, SMU, SMK dan lain-lain. Bahkan sampai perguruan tinggi dengan berbagai macam disiplin ilmu, seperti Tarbiyah, Dakwah, Syariah, Ushuluddin, Ekonomi, Hukum, Pertanian, Teknik, dan lain-lain.
Pembenahan-pembenahan nampaknya dilakukan di lingkungan Ma’arif. Berdasarkan hasil rapat kerja Ma’arif yang dilaksanakan pada tahun 1978, disebutkan tentang program-program kerja Ma’arif antara lain :
1.      Pemantapan sistem pendidikan Ma’arif meliputi :
a.       Tujuan pendidikan :
1)      Menumbuhkan jiwa pemikiran dan gagasan-gagasan yang dapat membentuk pandangan hidup bagi anak didik sesuai dengan ajaran ahlus sunnah wal jama’ah.
2)      Menanamkan sikap tebuka, watak mandiri, kemampuan bekerja sama dengan fihak lain untuk lebih baik, keterampilan menggunakan ilmu dan teknologi yang kesemuannya adalah perwujudan pengabdian diri kepada Allah SWT.
3)      Menciptakan sikap hidup yang berorientasi kepada kehidupan duniawi dan ukhrawi sebagai sebuah kesatuan.
4)      Menanamkan penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam sebagai ajaran yang dinamis.
b.      Penataan kembali orientasi pendidikan Ma’arif, dari orientasi pencapaian pengetahuan scholatik yang diakhiri dengan pemberian ijazah ke orientasi kemampuan melakukan kerja nyata bidang kemanusiaan dan kemasyarakatan.
c.       Mengkaitkan pelajaran agama di sekolah-sekolah Ma’arif dengan persoalan-persoalan hukum, lingkungan hidup, solidaritas sosial, wiraswasta dan lain-lain.
d.      Mengembangkan watak kultural ke-NU-an.
e.       Secara makro, memberikan porsi yang lebih besar terhadap pendidikan non formal.
2.      Peningkatan organisasi Ma’arif.
3.      Penyediaan data dan informasi sekolah-sekolah Ma’arif.
4.      Penerbitan.
5.      Peningkatan mutu guru Ma’arif.[16]
Berdasarkan data 1981,  jumlah lembaga pendidikan yang dikelola NU :
1.      Pondok Pesantren    :   3.745 buah
2.      Madrasah                 : 18.938 buah
3.      Sekolah Umum        :   3.102 buah
Data-data tersebut terus meningkat, dan tentu saja telah berkembang pesat sesuai dengan perkembangan dinamika pendidikan di lingkungan NU.
Sebagai contoh, di LP Ma’arif NU Jawa Timur misalnya, pada tahun 1993 telah membawahi 4.000 MI, 190 SD, 470 MTs, 325 SMP, 280 MA, 250 SMU, 15 SMEA, 4 STM, dan 15 buah Perguruan tinggi.[17]
Dan diantara perguruan tingginya, terdapat perguruan tinggi yang cukup terkenal dan berkualitas, antara lain: UNISMA Malang, UNSURI Surabaya, UNDAR dan UNHASY Jombang, dan lain-lain.

IV.        FORMAT PENDIDIKAN NU MASA DEPAN
Secara historis gerakan ilmiah Islam (pendidikan Islam) di Indonesia banyak dipengaruhi oleh politik halus kolonial Belanda, yang telah berhasil menyudutkan kaum muslimin ke suatu sudut pandang yang hanya menekankan pada kehidupan ukhrawi. Akibatnya dinamisasi keilmuan hanya berkisar pada ulumus syari’ah dan tasawwuf. Sedangkan bidang-bidang lainnya mengalami stagnasi karena ada anggapan bahwa ilmu-ilmu itu semata-mata urusan duniawi. Dari sinilah lalu muncul adanya dikotomi ulumuddin dan ulumuddunya, antara madrasah dan sekolah, bahkan antara kitab dan buku.
Dengan adanya anggapan semacam itu, maka mengakibatkan lemahnya dinamika pendidikan Islam, termasuk di lingkungan NU. Lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU terkadang belum dikelola secara professional, baik dalam ketenagaan, maupun managemen. Antara lembaga pendidikan satu dengan yang lainnya belum ada kesamaan visi yang jelas. Sebagian besar lembaga pendidikan di NU dalam melakukan pengembangannya berjalan tanpa arah yang jelas, belum ada sistem dan kurikulum yang baku, belum ada persamaan orientasi dan visi. Karena pengelolaan pendidikan di lingkungan NU biasanya dikelola dari bawah. Karena itu sudah saatnya penanganan managemen pendidikan NU dikelola secara profesional, dan peningkatan mutu serta sarana fasilitas yang memadai.
Penanganan secara profesional dalam bidang managemen sudah saatnya harus diterapkan di semua lembaga pendidikan yang berlangsung di NU baik di pesantren, Madrasah maupun sekolah.[18]
Modernisasi atau pembaharuan yang dilaksanakan di pesantren hendaknya mencakup ke berbagai aspek : managemen, kurikulum, metode pengajaran, ketenangan dan lain-lain. Madrasah juga perlu melakukan pembenahan-pembenahan di semua bidang termasuk mengantisipasi kemajuan bidang ilmu dan teknologi memasuki milenium ketiga.
Di lingkungan NU hendaknya sudah saatnya memajukan semua lembaga pendidikan yang dikelolanya, baik di bidang pesantren, madrasah maupun sekolah. Sebagai organisasi sosial keagamaan yang cukup besasr NU memiliki potensi besar dan membangun kualitas dan sumber daya manusia. akan tetapi dalam bidang ini harus diakui bahwa pendidikan formal di lingkungan NU tertinggal dengan pendidikan di lingkungan Muhammadiyah misalnya. Pendidikan formal NU – khususnya yang berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional perlu mendapat penanganan yang lebih serius agar lebih baik. Memang sudah ada beberapa Perguruan Tinggi NU yang berkualitas antara lain : UNISMA Malang, UNDAR Jombang, UNSURI Surabaya, akan tetapi dibandingkan dengan kuantitas warga NU yang cukup banyak maka belum seimbang.
Dan yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa pendidikan di lingkungan NU harus mampu mengantisipasi perubahan orientasi masyarakat. Pendidikan NU harus mengembangkan wawasan yang lebih luas lagi tidak hanya semata-mata beroriientasi agama (religious oriented) saja, melainkan perlu menambah orientasi pasar (marketing oriented) agar pendidikan di NU tidak ditinggalkan masyarakat, dengan jalan membuka sekolah-sekolah kejuruan yang siap pakai misalnya bidang-bidang keperawatan, kedokteran, pertanian, tekonologi, ekonomi, hukum. Disamping tetap mengembangkan nilai-nilai moralitas dan relegiousitas yang tinggi sebagai ciri NU, yaitu dengan mengacu pada kaidah : Al-Mahafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (Memepertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik).
Dengan demikian diharapkan format pendidikan di lingkungan NU, disamping menyiapkan kader-kader di bidang agama (moralitas) juga menyiapkan tenaga-tenaga siap pakai di berbagai bidang untuk menjawab tuntutan zaman yang dibutuhkan masyarakat. Sehingga pendidikan NU tidak ditinggalkan masyarakat tetapi malah dicari masyarakat karena kontribusinya yang besar terhadap masyarakat.

V.           PENUTUP
NU sebagai organisasi sosial keagamaan, sejak didirikan pada tahun 1926 oleh para ulama, cukup banyak konstribusinya dalam bidang pendidikan, baik pendidikan di bidang agama dengan melalui lembaga pendidikan pesantren dan madrasah maupun bidang umum melalui lembaga pendidikan sekolah formal yang dikelola oleh NU.
Tradisi pendidikan di lingkungan NU yang lebih menitik beratkan orientasi keagamaan (relligious oriented), disamping tetap perlu dilestarikan perlu diimbangi dengan orientasi pasar (marketing oriented) sehingga menghadapi mengahadapi tuntutan masyarakat tetap dibutuhkan keberadaannya karena dibutuhkan, apalagi memasuki era milenium ketiga ini. Dengan demikian, perpaduan antara ukhrawi dan duniawi bisa paralel.
Pendidikan di lingkungan NU harus terbuka menjawab tuntutan masyarakat, dengan mengadaptasi pendidikan modern baik metode, managemen, sarana dan fasilitas akan tetapi juga harus tetap mengedepankan nilai-nilai moralitas yang selama ini menjadi khas bagi model pendidikan NU.

DAFTAR BACAAN

1.      A. Gafar Karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar – LkiS, 1995.
2.      Andree Fiellard, NU vis a vis Negara, Yogya : LkiS, 1999.
3.      Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Sala : Jatayu, 1985.
4.      Deliar Nor, Gerakan Modern Islam di Indoneia, Jakarta : LP3ES, 1990.
5.      Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999.
6.      Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Lkis-Raja Grafindo Persada, 1999.
7.      Kacung Marijan, Quo Vadis NU, Jakarta : Erlangga, 1992.
8.      Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
9.      Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1992.
10.  M. Nasikh Ridwan, “Pendidikan di NU antara Cita dan Fakta”, dalam Bangkit Edisi no. 5, Juli-Agustus, 1993.
11.  Martin van Bruinessen, Kitab Kuning : Pesanten dan Tarekat, Bandung : Mizan, 1999.
12.  Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, Yogyakarta : Al-Amin Press, 1996.
13.  Samsul Munir Amin, “NU dan Perjuangan Nasional Indonesia”, dalam AULA no. 76, Edisi Agustus 1994.
14.  Saifuddin Zuhri, KH, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Bandung : Al-Ma’arif, 1982.
15.  Slamet Efendi Yusuf, M. Ikhwan Sam, masdar Farid Mas’udi, Dinamika Kaum Santri, Menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU, Jakarta : CV, Rajawali, 1983.
16.  Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : 1992.
17.  Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta : LP3ES.


[1] KH. MA. Sahal Mahfudh. “Kata Pengantar” dalam Kacung Marijan, Quo Vadis NU. Jakarta : Erlangga, 1992, halaman : xiii.
[2] Samsul Munir Amin, “NU dan Perjuangan Nasional”, dalam Majalah AULA Edisi Juli 1991, halaman : 72-76.
[3] Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU. Sala : Jatayu. 1985, halaman 3. juga Deliar Nor, Gerakan Modern Islam di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1990, halaman : 241.
[4] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : LSIK dan Raja Grafindo Persada, 1999, halaman : 106.
[5] A. Gafar Karim, Metamorfosis NU dan Pilitisasi Islam di Indonesia, Yogyakarta : Pustaka Pelajar – LkiS, 1995, halaman 47.
[6] Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, halaman 1.
[7] A. Gafar Karim, Op. Cit. halaman : 48.
[8] A. Gafar Karim, Ibid, halaman : 48.
[9] Choirul Anam, Op. Cit. halaman : 33.
[10] Choirul Anam, ibid, halaman 1, juga KH. Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Bandung : Al-Ma’arif, 1981, halaman 609, juga Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1992, halaman : 240, juga Makshum Mahfudz, Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama, Surabaya : Yayasan Kesatuan Umat, 1982, halaman 33-34, juga Masyhur Amin,  NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, Yogyakarta : Al-Amin Press, 1996, halaman : 52.
[11] Andree Feillard, NU vis a vis Negara, Yogyakarta : LkiS, 1999, halaman 12-13, juga Mahmud Yunus, ibid, halaman 124, juga Zuhairini (Ed), Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992, halaman 181.
[12] A. Choirul Anam, Op. Cit, halaman 182.
[13] Hasbullah, Op. Cit, halaman 107.
[14] Mahmud Yunus, Op. Cit, halaman 242, juga Hasbullah, ibid, halaman 109.
[15] Mahmud Yunus, Op. Cit, halaman 244.
[16] Hasbullah, Op. Cit, halaman 112.
[17] M. Nasikh Ridwan, “Pendidikan di NU antara Cita dan Fakta”, dalam Jurnal Bangkit, Edit no. 5, Juli-Agustus, 1993, halaman 5.
[18] Kalian mengenai bergesernya lembaga pendidikan Islam Pesantren, Madrasah dan Sekolah, bisa dibaca pada Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, Jakarta : Bulan Bintang, 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar