Rabu, 02 Februari 2011

KHULAFAURRASYIDUN (Konsep dasar Suksesi Kepala Pemerintahan)

KHULAFAURRASYIDUN
(Konsep dasar Suksesi Kepala Pemerintahan)
Oleh : Safrudin, S.Sos.I


I.         PENDAHULUAN
Sebagai sumber utama ajaran dalam Islam, al-Qur'an menje­laskan ada dua intisari ajaran, yaitu akidah dan syari'ah. Ke­duanya mempunyai hubungan yang sangat erat, tidak ada akidah tanpa syari'ah dan sebaliknya tidak ada syari'ah tanpa akidah. Akidah dan syari'ah itulah yang menghubungkan manusia sebagai hamba dengan Allah. Oleh karena'itu juga, di atas akidah dan syari'ah hubungan antara sesama manusia yang diatur dalam mu’amalah ditegakkan, dan hubungan antara manusia yang memerin­tah dengan yang diperintah yang diatur dalam siyasah itu dilu­ruskan.
Mendukung pemikiran di atas, Tohtowi sebagaimana dikutip Zofir Al-Qasimy menyatakan bahwa ajaran Islam itu terdiri dari tiga unsur yang saling terkait, yaitu akidah, ibadah, dan un­dang-undang. Dengan kata lain dapat dipahami bahwa antara po­litik dengan agama (akidah dan syari'ah) tidak dapat dipisah­kan. Bahkan Imam Syafi'i secara tegas menyatakan bahwa tidak ada politik kecuali jika is bersendikan pada syara' (undang -undang Islam). Oleh karena itu, politik dalam Islam, sebagai­mana dijelaskan oleh Ibnu Akil bahwa politik itu harus untuk mendekatkan manusia kepada kebenaran dan menjauhkannya dari kerusakan. Dalam hal ini, Esposito menjelaskan bahwa agama bagi manusia memberikan padanya pandangan dunia, sebuah kerang­ka makna bagi kehidupan balk sebagai individu maupun masyarakat. Disinilah nilai-nilai ajaran Islam merupakan satu "patron" bagi institusi-institusi maupun masyarakat Islam.
Sebagai patron dalam kehidupan politik, Islam di zaman Na­bi telah mampu diwujudkan dalam bentuk masyarakat Islam yang ideal. Demikian ini karena Nabi disamping mampu berperan seba­gai pemimpin agama yang paling sempurna, juga mampu sebagai pemimpin pemerintahan yang tersempurna juga. Pada masa tersebut kehidupan komunitas agama dan komunitas politik terintegrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Setelah Nabi wafat, kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal tersebut juga masih berlangsung pada zaman pemerintahan empat khalifah pengganti sesudah beliau, dan umat Islam menama­kannya, "al-Khulafa ar-Rasyidun", yaitu khalifah-khalifah yang adil dan benar.
Dalam mcngaplikasikan nilai-nilai dasar pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa Nabi tentu tidak sa­ma sebagaimana di masa khulafaurrasyidun, karena di masa Nabi antara unsur kenabian, kerasulan, keumatan, dan kepemerintahan masih terintegrasi dalam bentuk kehidupan berbangsa dan bernega­ra yang unik.
Lain halnya setelah di masa khulafaurrayidun, dimana dalam menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara sudah tidak dibimbing langsung melalui wahyu yang turun maupun langsung melalui petunjuk Nabi, akan tetapi kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal sebagaimana dicontohkan Nabi masih mampu ditegakkan­nya, khususnya dalam hal penentuan kepala pemerintahan dinama Nabi tidak  meninggalkan wasiat dalam hal ini tetapi dengan me-mahami dan menghayati nilai-nilai ajaran. Islam yang telah di­contohkan Nabi, khulafaurrasyidun mampu mewujudkan suksesi kekuasaan dalam pemerintahan. Bagaimanakah konsep dasar yang beliau jadikan landasan, sehingga suksesi kekuasaan pemerintahan dapat diwujudkan? Inilah pentingnya permasalahan ini di­angkat untuk dibahas dalam makalah ini.
II.      DASAR-DASAR PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah, ajaran al-Qur'an telah menunjukkan prinsip-prinsip dasar pemerintahan da­lam Islam yang membedakan dengan sistem pemerintahan lainnya. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah :
(1)  Perundang-undangan Allah sebagai kekuasaan tertinggi.
(2)  Keadilan antar manusia, dimana semua manusia mempunyai per­samaan hak di hadapan undang-undang Allah, dan yang harus dilaksanakan atas mereka semuanya.
(3)  Persamaan antara kaum muslimin, semua kaum muslimin memili­ki persamaan dalam hak-haknya secara sempurna, tanpa meman­dang warna, suku, bahasa, maupun tempat.
(4)  Pemerintah beserta kekuasaan dan kekayaannya adalah amanah Allah dan kaum muslimin.
(5)  Melaksanakan sistem pemerintahan dengan cara musyawarah, se­hingga keharusan bagi pemimpin, negara dan pemerintahan untuk bermusyawarah dan mencari keridlaan mereka.
(6)  Ketaatan dalam hal kebajikan.
(7)  Mencari kekuasaan untuk diri sendiri adalah terlarang.
(8)  Tujuan negara dalam sistem pemerintahannya untuk menegakkan kehidupan yang Islami, memerintahkan segala yang ma'ruf dan mencegah serta menindak kemungkaran yang tidak sesuai akhlak Islam.

III.   IDE POLITIK DALAM PENGANGKATAN KHALIFAH SEBAGAI KEPALA PEMERIN­TAHAN
Rasulullan wafat tidak meninggalkan wasiat kepada para sha­habatnya untuk meneruskan kepemimpinannya. Sekelompok-orang ber­pendapat bahwa shahabat Abu Bakar lebih berhak untuk diangkat sebagai kepala pemerintahan (khalifah), karena Rasulullah meri­dlainya dalam soal-soal agama dengan bukti menyuruhnya menjadi imam shalat jama'ah selama beliau sakit. Kelompok lain berpenda­pat, yang paling berhakmenjadi khalifah adalah salah seorang dari kaum Quraisy termasuk di dalamnya kaum Muhajirin gelombang pertama. Kelompok lainnya lagi berpendapat bahwa yang paling berhak sebagai khalifah adalah dari kaum Anshar.
Munculnya pemikiran di bidang politik temtang pergantian atau pengangkatan kepala negara (bidang konstitusi) ini mencuat ketika Rasulullah wafat. Oleh karena itu, pemikiran di bidang ini merupakan pemik-iran yang paling awal muncul dibanding pemi­kiran di bidangteologi” dan "hukum". Yang demikian ini dise­babkan kebutuhan akan adanya seorang pemimpin untuk meneruskan pembangunan masyarakat Islam yang sudah diwujudkan Rasulullah sangat mendesak dan tidak dapat ditunda-tunda, karena menunda­nya akan mengancam eksistensi negara dan pemerintahan masyara­kat islam yang telah dibangun Nabi.
Ada tiga ide politik yang muncul dalam masalah pengangkat­an kepala negara/pemerintahan setelah wafat Rasulullah, yaitu:
1.      Kembali ke sistem kabilah.
Setiap kabilah mengangkat pemimpin mereka sendiri-sendiri. Ide ini muncul dari kalangan Banu Khazraj dan kaum sparatis (riddah).
2.      Sistem hak warisan.
Ide ini lahir dari kalangan Banu Hasyim berdasarkan pemiki­ran dan kebiasaan orang-orang Arab Selatan, dan tokoh ter­kemuka pendukung ide ini adalah al-Abbas paman Nabi, Ali kemenakan dan menantu Nabi, serta Zubair.
3.      Ide persatuan melalui permusyawaratan.
Ide ini didukung oleh kaum Muhajirin kecuali Banu Hasyim. Ide ini selain sesuai dengan perintah al-Qur'an; juga Nabi sendiri, sikap perbuatan dan kebijaksanaannya selalu menga­rah kepada perintah al-Qur'an ini. Make tidaklah menghe­rankan jika ide persatuan melalui permusyawaratan ini men­dapat dukungan luas dan berhasil keluar sebagai pemenang dalam pertarungan ide politik.'

IV.   PENGANGKATAN KHALIFAH
A.     Pengangkatan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq,
Sesudah Rasulullah wafat, kaum Anshar menghendaki agar orang yang akan jadi khalifah dipilih dari kalangan mereka. Dalam pada itu, Ali ibnu Abi Thalib mengingini agar beliau­lah yang diangkat menjadi khalifah. Tetapi sebagian terbanyak kaum muslimin menghendaki Abu Bakar, maka terpilihlah beliau menjadi khalifah.
Perselisihan tentang siapa yang berhak diangkat menjadi khalifah untuk meneruskan kepemimpinan Rasulullah dalam hal keduniaan terjadi di kalangan kaum muslimin, pertama di tem­pat kediaman Rasulullah sebelum jenazah beliau sempat dima­kamkan. Kemud.ian perselisihan itu terjadi lagi di "Sagifah" (semacam balai pertemuan) Bani Sa'idah, saat itu kaum Anshar menuntut hak atas kekhalifahan dan hampir saja membuat mufa­kat menentukan seorang dari golongan mereka untuk mengganti­kan Rasulullah.
Sewaktu Abu Bakar menjalankan tugas sucinya menunggui jenazah Rasul, beliau mt:mdapat khabar dari seorang yang diu­tus shahabat Umar bahwa terjadi suatu peristiwa penting yang harus dihadlirinya. Ta'jublah Abu Bakar memikirkan khabar itu, peristiwa apakah yang mengharuskan meninggalkan jenazah Rasul? Maka dengan keheran-heranan, keluarlah Abu Bakar da­ri menunggui jenazah Rasul untuk mengetahui kejelasan yang disampaikan Umar melalui utusannya tersebut. Peristiwa itu tidak lain adalah konggresnya golongan Anshar di Balai Bani Sa'idah untuk mufakat menentukan,seorang di antara mereka seorang khalifah menggantikan Rasulullah. Perselisihan me­ngenai siapa yang akan menggantikan Rasulullah sebagai kha. lifah di saat jenazah Rasul belum dimakamkan sebenarnya ti­dak patut terjadi. Namun yang demikian itu terjadi karena didorong oleh alasan untuk menjaga kesatuan dan persatuan ummat Islam.
Mendengar perselisihan akan hal tersebut semakin tajam, Abu. Bakar dan Umar keduanya segera menuju ke tempat Balai Bani Sa'idah dimana perselisihan tersebut terjadi. Di hadap­an mereka Abu Bakar mengucapkan pidato untuk meyakinkan kaum Anshar mengenai keutamaan kaum Muhajirin gelombang pertama, dan akhirnya berdamailah pertengkaran antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Kemudian Abu Bakar menyelesaikan persoal­an dalam hal ini tentang Ali bin Abi Thalib, karena banyak pula para shahabat Nabi yang tidak menyukai kekhalifahan be­rada di satu tangan (monopoli Bani Hasyim), disamping mereka mengenai kekerasan sikap Ali dalam membela kebenaran. Dije­laskan oleh Imam Malik, bahwa Ali, Zubair Berta pengikut-pe­ngikut mereka memisahkan diri dan berhimpun di rumah Fatimah anak perempuan Nabi. Dalam hal ini Syibli berkesimpulan bahwa di rumah Fatimah, isteri Ali tersebut terjadi sebuah perundi­ngan tentang kesepakatan untuk memperjuangkan Ali sebagai ke­pala negara.
Dallam kondisi kekosongan kepemimpinan setelah ditinggal wafat Rasulullah, untuk mengatasi perselisihan yang lebih ta­jam dan menjaga persatuan ummat Islam, Umar bin Khattab telah mencalonkan Abu Bakar as-Shiddiq untuk menduduki jabatan kha­lifah menggantikan kedudukan Nabi, kemudian Umar membai'at Abu Bakar yang selanjutnya diikuti kaum muslimin untuk turut membai'atnya. Dan penduduk kota Madinah yang pada hakekatnya merupakan wakil-wakil negeri secara keseluruhan telah meneri­manya dengan balk, mereka telah membai'atnya dengan suka rela atas dasar pilihan mereka.  Orang-orang yang tadinya ragu untuk memberikan bai'at kepada Abu Bakar dikala golongan ter­banyak dari kaum muslimin telah membai'atnya, segera pula mem­berikan bai’atnya.
B.     Pengangkatan Khalifah Umar Ibnul Khatthab.
Dan ketika Abu Bakar meninggal dunia, is mewasiatkan kha­lifah bagi Umar bin Khatthab dengan mengumpulkan penduduk di masjid Nabi, kemudian berkata kepada mereka : "apakah kalian menyetujui orang yang aku tunjuk untuk menggantikan kedudukan­ku sepeninggalku? sesungguhnya aku, demi Allah, telah bersung­guh-sungguh memikiTkan tentang hal ini, dan aku tidak mengang­kat seseorang dari sanak keluargaku, tapi aku telah menunjuk Umar bin Khatthab sebagai penggantiku, maka dengarlah dan ta­atlah kepadanya". Mendengar pertanyaan tersebut, orang banyak­ pun berkata: "sami'na wa atha'na".
Abu Bakar telah menyaksikan percekcokan yang timbul di kalangan kaum muslimin, demi Rasulullah berpulang ke rahmatullah. Kehendak dan keinginan-keinginan golongan,yang bersimpang siur nyaris menimbulkan perpecahan di kalangan ummat Islam. Dan be­berapa hari sebelum Abu Bakar wafat, bala tentara Islam sedang bertempur dalam peperangan yang paling sengit melawan tentara Persia dan Rumawi, Pada saat itu oleh Abu Bakar sudah berpikir bahwa akan timbul perselisihan di kalangan kaum muslimin jika mereka ditinggalkan begitu saja, tiada dengan khalifah yang akan menggantikannya. Sekiranya suatu kegoncangan terjadi pula di Ibu Kota, maka akan dapat menimbulkan kekalahan bagi bala tentara yang sedang bertempur. Bahkan tidak mustahil pula, ke­goncangan di pusat pemerintahan itu akan mengakibatkan perpe­cahan dalam lasykar Islam sendiri, ada panglima yang mendukung seorang calon khalifah, ada pula panglima lain yang mendukung calon khalifah lainnya. Dengan demikian bala tentara Islam akan pecah dan masing-masing akan memerangi saudaranya sendiri. Jika demikian terjadi, pasukan Islam akan mengalami kekalahan dan dihancurkan oleh 'pasukan Persia dan Rumawi. Dengan pertim­bangan ini hendak menunjuk Penggantinya sesudah memusyawarahkan hal itu dengan kaum muslimin. "emudian Abu Bakar mengemukakan Umar bin Khatthab sebagai calon, dan beliau (Umar) pulalah ca­lon yang dikemukakan oleh kaum muslimin. Oleh karena itu, Abu Bakar menunjuk Umar jadi khalifah, dan piagam penunjukan itu ditulisnya sebelum beliau wafat.
C.     Pengangkatan Khalifah Utsman Ibnu 'Affan.
Di waktu khalifah Umar terkena tikam, beliau tiada bermaksud hendak menganakat penggantinya. Faktor-faktor yang mendo­rong sebagaimana Abu Bakar menunjuk penggantinya sudah tidak ada lagi. Pasukan Islam telah mendapat kemenangan, dan keada­an kaum muslimin telah stabil. Akan tetapi kaum muslimin tetap khawatir kalau-kalau terjadi perpecahan setelah khalifah Umar meninggal, karena itu mereka mengusulkan agar khalifah Umar untuk menunjuk sinpa yang akan menjadi penggantinya. Menghadapi usulan dan melihat keadaan kaum muslimin seper­ti itu, suatu riwayat menjelaskan bahwa Umar pernah berkata : "Andaikata saya menunjuk siapa yang akan menjadi khalifah sesu­dah saya, maka telah pernah orang yang lebih baik daripada saya (Abu Bakar) menunjuk orang yang akan menjadi khalifah sesudah­nya. Dan kalau saya tidak menunjuk, maka telah pernah puler orang yang lebih baik daripada saya (Rasulullah) berbuat demikian".  Dalam keadaan seperti itu, Umar mengambil jalan tengah dengan menunjuk enam orang shahabat Rasulullah yang telah mendapat kha­bar dari Rasul akan masuk syurga, dan mereka adalah orang-orang yang paling baik, untuk bermusyawarah memilih seorang diantara mereka untuk jadi penggantinya. Mereka itu adalah 'Utsman bin 'affan, 'Ali bin Abi Thalib, Zubair bin 'Awwam, Salad bin Abi Waqqash, 'Abdurrahman bin 'Auf, dan Thalhah bin 'Ubaidillah. Ada yang menjelaskan bahwa seorang putera khalifah Umar, Abdul­lah ditambahkan olah beliau untuk masuk kepada shahabat yang enam tersebut dengan hanya mempunyai hak pilih dan tidak ber­hak untuk dipilih.
Akhirnya diputuskanlah oleh panitia tersebut untuk urusan pemilihan khalifah selanjutnya diserahkan pada Abdurrahman bin 'Auf. Maka iapun berkeliling menanyakan siapa yang lebih tepat diterima menjadi khalifah, sampai-sampai ia bertanya pula kepa­da kafilah-kafilah yang sedang pulang dari haji, dan akhirnya ia berkesimpulan melalui referendum umum yang ia tempuh, bahwa kebanyakan rakyat lebih condong kepada Utsman bin 'Affan. Ber­dasarkan itu, Utsman bin 'Affan dipilih sebagai khalifah atas kaum muslimin dan dibai'at di hadapan orang banyak dalam suatu pertemuan umum.
D.    Pengangkatan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib.
Setelah khalifah Utsman wafat terbunuh, banyak orang yang ingin mengangkat Ali bin Abi Thalib menggantikannya sebagai khalifah. tetapi di samping itu, kenyataan kaum, muslimin juga menunjukkan adanya kaum muslimin yang tidak menyukai pengangkatan Ali. Di samping juga tidak ada orang yang ingin diangkat menjadi khalifah karena Ali masih ada, selain dari Ali sendiri.
Pada waktu pemilihan calon khalifah yang diajukan Umar, sewaktu Utsman menjadi yang dipilih, hampir saja Ali pada waktu itu dipilih, akan tetapi karena faktor umur, usia beliau ma­sih lebih muda maka ia ditinggalkan. Tetapi sekarang, masalah umur tidak menjadi masalah lagi karena sudah meningkat menjadi enam puluhan, maka diangkatnya Ali menjadi khalifah sudah sewa­jarnya.
Sewaktu banyak kaum muslimin mendatangi shahabat Ali un­tuk memintanya menjadi khalifah, dan melihat kaum muslimin yang mendatanginya itu tidak terlihat orang-orang besar yang berpe­ngaruh, maka Ali berkata : "Ini bukanlah urusan kalian, tetapi ini adalah urusan orang-orang yang ikut bertempur di badar, ma­na Thalhah bin Ubaidillah, mana Zubair bin Awwam, dan mana Sa­'ad bin Abi Waqash ?
Tak ada diantara shahabat-shahabat terkemuka yang dapat menolak untuk membai’at Ali, karena tidak ada seorang juga di antara mereka yang sanggup menghadapi mana pancaroba (istilah dewasa ini "reformasi"). Oleh karena itu, mau tidak mau akhir­nya mereka membai'at Ali, kemudian banyak akhirnya kaum Muha­jirin dan Anshar mengikuti tindakan mereka. Akhirnya Ali dibai’at sebagai khalifah oleh rakyat terbanyak. Dengan demikian da­pat dipahami pula bahwa pembai'atan khalifah Ali adalah tidak sepenuh hati semua kaum muslimin, terutama Bani Umayyah.

V.      KONSEP DASAR SUKSES! PERGANTIAN KHALIFAH
Jika dicermati proses pengangkatan khalifah sebagaimana dijelaskan di atas, satu sisi khalifah yang berhasil dipilih dan diangkat tersebut telah mampu mewujudkan prinsip-prinsip dasar pemerintahan yang dibangun oleh Rasulullah dalam memba­ngun masyarakat Islam yang ideal, sehingga ke empat khalifah terpilih tersebut diberi gelar oleh kaum muslimin sebagai kha­lifah-khalifah yang adil dan benar, dengan sebutan "khulafaur­rasyidun".
Akan tetapi pada sisi lain, proses pemilihan dan pengankatannya dalam menentukan seorang khalifah sebagai kepala peme­rintahan, semuanya dilakukan dalam bentuk sistem musyawarah perwakilan yang berbentuk informal, belum dilakukan dalam ben­tuk musyawarah perwakilan melalui badan perwakilan yang legal formal, atau badan yang "legitimed" istilah demokrasi modern dewasa ini.
Mengapa proses suksesi pergantian kepala pemerintahan (khalifah) yang masih belum berdasarkan konstitusi formal se­bagaimana undang-undang kenegaraan dewasa ini, dapat dilakukan dengan sukses; dan berhasil pula memilih khalifah sebagai kepa­la pemerintahan yang dapat membawa pembangunan kehidupan bang­sa yang adil dan benar?
Ada beberapa hal penting yang perlu diberi kajian dalam suksesi pergantian khalifah sebagai kepala pemerintahan tersebut, yaitu :
1.      Dari orang yang dipilih.
Beliau-beliau merupakan para shahabat Rasul yang memiliki kualitas pribadi yang paling adil dan benar. Kualitas ini beliau peroleh dari kedekatan beliau dalam memahami, meng­hayati, dan meyakini kebenaran Islam bersama Nabi. Maka dengan kesucian dan kejujuran hati, beliau-beliau itu da­pat mendalami jiwa dan semangat Islam lebih sempurna, di- banding yang didapat kaum muslimin yang lain. Di sini ni­lai-nilai sejarah dan pengalaman menjadi unsur penting.
2.      Dari visi dalam mengemban kekuasaan.
Prinsip-prinsip dasar yang menjadi tumpuan dan arah sistem pemerintahan di. masa Nabi itulah yang menjadi prinsip da­sar untuk dijadikan pijakan dan arah pada pemerintahan khulafaurrasyidun. Maka arah pemerintahan dan pembangu­nannya adalah terwujudnya kehidupan dalam kedamaian dan kemaslahatan, Berta kebajikan menjadi hal yang harus dite­gakkan. Dengan memperhatikan ketentuan hukum dari Allah, dan dengan. meneladani praktek yang sudah dilaksanakan Na­bi, beliau-beliau menghayati bahwa pemerintah beserta ke­kuasaan dan kekayaannya adalah amanah Allah dan amanah ka­um muslimin. Berdasar nilai-nilai agama yang beliau yaki­ni dan hayati dengan sempurna itulah, walaupun belum ada aturan pasal-pasal sebagaimana macaw-macaw Undang-undang seperti dewasa ini, mereka mampu melakukan suksesi kepe­mimpinan pemerintahan dengan baik.
3.      Melaksanakan prinsip musyawarah berdasarkan semangat ni­lai-nilai agama.
Dalam pemilihan dan pengangkatan khalifah sebagai kepala pemerintahan, beliau-beliau melaksanakan prinsip permusya­waratan-perwakilan yang dijiwai nilai-nilai agama, baik Yang dijelaskan al-Qur'an maupun yang dicontohkan Nabi. Dengan jiwa dan semangat yang diajarkan agama itulah beli­au mampu mewujudkan prinsip musyawarah sesuai dengan kon­disi dan situasi yang ada. Islam telah menetapkan prinsip musyawarah, akan tetapi pelaksanaan prinsip tersebut dise­rahkan kaum muslimin sesuai perkembangan masyarakat.
Disinilah pentingnya dalam melaksanakan prinsip musyawarah yang memang belum dan tidak dibakukan bentuknya oleh Nabi, supaya da­lam pengembangan penerapannya sesuai dengan tuntutan zaman, dan sisi lain juga mencapai hasil kesepakatan yang maslahah, yang penting melaksanakan intinya, yaitu berpegang teguh pada hukum Allah dan bertindak adil. Semangat musyawarah yang dijiwai hukum agama tersebut terlihat pada pidato-pidato beliau setelah selesai musyawarah diangkat sebagai khalifah. Misalnya pidato shahabat Abu Bakar:
"Wahai manusia! Saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik dianta­ramu. Maka jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku, t;etapi jika aku berbuat salah, maka betul­kanlah ! Orang yang kamu pandang kuat, saya pandang lemah, hingga aku dapat mengambil hak daripadanya, sedang orang yang kamu pandang Imah, saya pandang kuat, hingga saya dapat mengembalikan haknya kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, teta­pi bilamana aku tiada menaati Allah dan Rasul-Nya kamu tak perlu menaatiku".

VI.   KESIMPULAN
Dari pembahasan sebagaimana dijelaskan di atas, dapat di­beri kesimpulan sebagai berikut :
1.         Berdasarkan psinsip-psinsip dasar pemerintahan yang bersumber pada al-Qur’an dan contoh yang dipraktekkan Rasulullah bentuk sistem permusyawaratan-perwakilan di masa khulafaur rasyidun mampu menghasilkan suksesi kepemimpinan dalam pengangkatan kepala pemerintahan (khalifah).
2.         Proses suksesi pemilihan dan pengangkatan kepala pemerintahan/khalifah tersebut dilakukan dengan mengutamakan kualitas calon pemimpin yang akan dipilih, yaitu adil dan benar menu-rut ajaran agama, visi dalam mengemban tugas sebagai amanah Allah dan kaum musli-min, dan musyawarah perwakilan yang diji­wai nilai-nilai agama.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar