Rabu, 02 Februari 2011

PERGURUAN TINGGI ISLAM (Pengembangan Mutiara Pesantren Pada Era Global)

PERGURUAN TINGGI ISLAM
(Pengembangan Mutiara Pesantren Pada Era Global)
Oleh : Safrudin, S.Sos.I

I.         MUQODDIMAH
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Berbaga prestasi dan potensi yng dikembangkan oleh pesantren telah mempengaruhi corak dan warna rentangan sejarah yang sangat panjang. Kondisi ini sangat signifikan dengan potensi yang dimiliki oleh pesantren bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengembangkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik secara holistik. Apa yang diungkapkan KH. Mustofa Bisri bahwa “lembaga pesantren sistem pendidikannya baik, tetapi pengajarannya amburadul, sementara lembaga pendidikan selain pesantren sistem pengajarannya baik tetapi pendidikannya amburadu”. Muqoddimah ini perlu penulis kemukakan sebagai pencerahan pemikiran bagi teman-teman penyelenggara proses pembelajaran di UNSIQ yang telah memproklamirkan diri bahwa lembaga tersebut berorientasi pada nilai-nilai (mutiara) pesantren.

II.      PEMBAHASAN
A.    Perguruan Tinggi Masa Keemasan Islam
Secara historis, pesantren juga telah membuktikan dirinya sebagai suatu lembaga pendidikan Islam yang established (mapan). Perubahan-perubahan sosial, politik, ekonomi, kebuyaan dan lain-lain sejauh ini tidak banyak berpengaruh terhadap eksistensi pesantren, sehingga pesantren mampu membuktikan diri sebagai benteng pertahanan kulturan dan keagamaan umat yang tangguh. (Azzumardi Azra, 1999). Pesantren dengan potensi yang demikian besar cukup disayangkan bahwa selama ini terputus dari tradisi perguruan tinggi Islam di masa lalu. Seperti diketahui pendidikan tinggi pertama di dunia justru dikembangkan oleh masyarakat Islam pada masa kejayaan daulat Abbasyiah di Bagdad atau Daulat Umayyah di Cordova, meskipun pendidikan tinggi pada waktu itu belum mempunyai sistem pendidikan sebagai universitas saat ini, namun ia telah merintis dan mewariskan tradisi pendidikan tinggi yang khas.
Tradisi pendidikan Islam itu misalnya didirikannya berbagai pusat studi tingkat tinggi dimana para calon ilmuwan dan cendekiawan muslim dengan tekun mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Pusat studi yang sangat terkenal adalah Darul Hikmah yang didirikan oleh khalifah Al-Makmun pada tahun 830 M. lembaga ini memiliki pusat penterjemahan, penerbitan, perpustakaan, observatorium bintan dan lain-lain yang terbuka bagi kaum muslimin maupun non muslim dari eropa yang ketika itu berada dalam kegelapan zaman. Berdirinya Darul Hikmah telah melengkapi Fakultas Kedokteran yang berdiri pada tahun 765 M (Abudin Nata, 2000). Tradisi pendidikan tinggi dalam dunia Islam ini dicatat oleh para sejarawan barat sebagai warisan intelektual dari kebudayaan islam yang paling berharga dan sangat mempengaruhi kemajuan kebudayaan eropa. Ini terungkap sebagaimana catatan Herbert A. Davis dalam An Outline History of The World. Ia mengungkapkan : Umat islam telah mendirikan universitas-universitas besar yang selama beberapa abad telah melebihi apa yang dipunyai eropa (Kristen).
B.     Pendidikan Tinggi dan Pesantren
Pada masa-masa selanjutnya, bahwa universitas-universitas barat menduduki posisi terpenting dan center bagi universitas-universitas di dunia baik islam maupun non Islam. Tradisi pendidikan barat berorientasi pada pendidikan sekuler yang terlepas dari perspektif islami, dalam sistem pelayanannya pun menggunakan birokrasi dan formalitas yang demikian ketat yang akhirnya menyingkirkan sekian banyak generasi muslim dari kancah pendidikan yang pada gilirannya menciptakan struktur penindasan, di mana kalangan miskin yang menjadi mayoritas di Negara-negara Islam menjadi tidak layak memasuki perguruan tinggi. Pendidikan tinggi akhirnya hanya menjadi milik dan privilese kaum elit sementara massa rakyat semakin terpencil dan tersingkir.
Dengan kenyataan itu, tidaklah berlebihan kalau muncul pernyataan kalau pendidikan tinggi semakin tidak manusiawi. Ia hanya berfungsi memunculkan kelas-kelas masyarakat baru dari masyarakat elit yang teralinasi dari masyarakatnya. (Andreferire, 1998). Bagi masyarakat Indonesia, kenyataan pahit itu misalnya tercermin dengan angka-angka peminat pendidikan tinggi yang setiap tahunnya terus meningkat. Untuk tahun 1984 misalnya, sekitar setengah juta siswa harus bertarung untuk mendapatkan 72.718 kursi di perguruan tinggi. (Suara Merdeka, 1984). Dapat dipastikan mayoritas mereka yang tersingkir adalah siswa-siswa muslim. Hal ini bukan disebabkan komposisi demografis mereka yang memang mayoritas, tetapi juga disebabkan keterbelakangan intelektual mereka, tingkat ekonomi yang relative rendah juga mengakibatkan mereka tidak mampu menikmati gizi dan makanan dan daya beli terhadap fasilitas pendidikan yang layak sehingga mempengaruhi daya kogniti, afektif dan psikomotorik mereka secara maksimal. Dalam kaitan ini, amat pantas bila pesantren menjadi mitra alternative dalam sistem pengelolaan lembaga pendidikan tinggi. Bukan hanya menjadi sekedar penampungan bagi mereka yang tidak tertampung di PTN atau PTS favorit, tetapi lebih-lebih lagi guna menyambungkan mata rantai tradisi pendidikan tinggi Islam yang sudah sekian lama terputus terutama dengan lembaga pendidikan islam di tanah air kita semacam pesantren. Tradisi pendidikan pesantren yang merakyat, tidak elitis, merupakan modal yang amat berharga bagi pengembangan pendidikan tinggi yang lebih humanis. Disamping itu tradisi pesantren yang sangat ampuh sebagai benteng cultural dan agama untuk menyelamatkan generasi muda muslim dari proses pementahan terhadap brain washing nilai-nilai keislaman yang terjadi dalam proses pendidikan umum.
Kemudian tradisi pesantren yang mempunyai keterkaitan dan kakraban dengan masyarakat lingkungan dalam kontek pendidikan tinggi yang berorientasi pada mutiara pesantren diharapkan dapat menciptakan masyarakat belajar (education society) yang merupakan modal dasar bahwa lembaga pendidikan bukan merupakan lembaga yang teraliansi dari masyarakat sekitar dengan jaringan yang serba elitis dan formalistic.

III.   PENUTUP
Karena demikian akrabnya hubungan antara pendidikan tinggi dengan masyarakat, maka diharapkan bahwa lembaga pendidikan tinggi mampu menjadi problem solving bagi persoalan yang muncul pada masyarakat sekitar. Di lain pihak, secara internal, bahwa lembaga pendidikan tinggi harus mampu menyiapkan kurikulum, metode, staf edukatif dan pengelola yang bias menyatukan antara aspek kognitif, afektik dan psikomotorik secara berkelanjutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar