Kamis, 03 Februari 2011

PERINGATAN MAULUD NABI DAN TEKS AL-BARZANJI



PERINGATAN MAULUD NABI
DAN TEKS AL-BARZANJI
Oleh : Safrudin, S.Sos.I

I.                   PENDAHULUAN
Maulid sering disebut ‘maulud’ yang berarti ‘tempat atau saat kelahiran’. Dalam kehidupan kaum muslim yang dimaksud dengan maulid adalah kelahiran Nabi Muhammad SAW yang lahir pada 12 Rabi’ul Awwal 570 M, dan bulan itu disebut bulan Maulid atau bulan Mulud (Jawa).
Sejak awal peringatan Maulid Nabi SAW itu diperkenalkan pertama kali oleh penguasa Dinasti Fatimiyah (341 H/953 M – 365 H/975 M) sudah menuai pro dan kontra. Oleh karena peringatan seperti itu belum/tidak pernah dilakukan oleh Nabi sendiri dan sahabat-sahabatnya. Artinya, aktivitas tersebut adalah rekayasa manusia yang mentradisi di kalangan umat muslim. Oleh karena tradisi, tentu ada yang setuju dan tidak berdasarkan dalil, baik berupa Nash al-Qur’an dan sunnah maupun dalil fakta lapangan terkait pelaksanaan peringatan itu sendiri. Persoalan ini menjadi menarik dibahas karena ritual adat/’urf.[1] seperti ini tidak dapat dipungkiri merupakan hasil kebudayaan yang diciptakan kaum muslim sendiri, bahkan oleh suatu kelompok diyakini sebagai manifestasi keyakinan dan digunakan sebagai syiar Islam khas daerah tertentu. Pertanyaannya, bagaimana dalil yang digunakan masing-masing pendapat itu relevansinya dengan hukum boleh tidaknya peringatan Maulid Nabi? Dan bagaimana pula batas kebolehan dan ketidakbolehannya?

II.                PEMBAHASAN
1.      Sejarah Peringatan Maulid dan Tujuannya
Salah satu hari besar Islam yang diperingati setiap tahun adalah kelahiran Nabi Muhammad SAW pada Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah / 20 April 570 M. yang disebut juga Maulud Nabi. Kelahiran Nabi SAW disebut tahun Gajah karena pada saat itu pasukan Abrahah, Gubernur Kerajaan Habasyah (Ethiopia) datang dengan menunggang gajah menyerbu Mekkah untuk menghancurkan Ka’bah. Sebenarnya, selain Idul Fitri dan Idul Adha, dalam al-Qur’an dan Hadis tidak ditemukan perintah merayakan hari besar Islam lain, seperti Maulid Nabi.[2]
Informasi bahwa kaum muslim merayakan peringatan Maulid Nabi SAW tidak ditemukan dalam sejarah Islam periode awal, tetapi perintah untuk mengambil pelajaran dari peristiwa atau kejadian masa lalu ditemukan dalam banyak ayat al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri berisi banyak kisah masa silam yang tentunya dimaksudkan untuk dijadikan pelajaran. Sebagaimana kisah-kisah al-Qur’an, peristiwa yang terjadi dalam sejarah Islam dan berhubungan dengan ajaran Islam juga banyak mengandung pelajaran. Oleh karena itu, perayaan hari-hari besar termasuk Maulid Nabi SAW adalah salah satu upaya kaum muslim untuk mengambil pelajaran.
Dalam sejarah Islam, perayaan Maulid Nabi untuk pertama kali diselenggarakan penguasa Dinasti Fatimiyah di Mesir, yaitu pada masa pemerintahan Abu Tamim yang bergelar al-Mu’izz li Din Allah (yang membuat agama Allah jaya) (953 – 975 M). Perayaan Maulid Nabi dan perayaan hari besar lainnya dilakukan dengan maksud agar menjadi penguasa popular di kalangan Syi’ah. Dalam ‘paket’ perayaan Maulid Nabi itu, penguasa Fatimiyah menggunakan kesempatan tersebut untuk memberi hadiah kepada orang tertentu, seperti penjaga masjid, perawat makam ahl al-bait, dan para pejabat.[3]  Selain untuk tujuan popularitas, peringatan Maulid Nabi juga dimaksudkan sebagai penegasan hubungan geneologi untuk mengesahkan ‘hak’ keluarga Fatimiyah sebagai “pewaris kekuasaan politik” Nabi Muhammad SAW.[4]
Setelah Dinasti Fatimiyah berakhir dan digantikan Dinasti Ayyubiyah yang dikenal sangat ketat menganut aliran Sunni, maka peringatan Maulid Nabi terus dilestarikan. Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193), penguasa pertama dinasti ini, memanfaatkan perayaan Maulid Nabi untuk membakar semangat jihad kaum muslim dalam menghadapi peperangan hebat melawan kaum salib.
Di luar Mesir, perayaan Maulid Nabi pertama kali diselenggarakan di Mosul, Irak. Di sana hidup seorang ulama besar bernama Umar al-Malla, ahli ilmu al-Qur’an dan Hadis. Setiap tahun ia mengundang ulama serta penguasa dan pembesar negara berkumpul di kediamannya untuk merayakan hari kelahiran Nabi SAW. Perayaan tersebut diisi dengan membaca syair-syair pujian akan keagungan Nabi Muhammad SAW. Salah satu undangannya adalah Nurudin Zangi (w.596 H/1200 M), Sultan Dinasti Atabeg di Suriah yang menganut aliran Sunni.
Di Maroko, kalangan sufi memandang peringatan Maulid Nabi dalam hirarki hari besar Islam sebagai yang kedua setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Dalam perayaan itu, syair mistis dan prosesi para darwis (pengikut tarekat), seperti tarekat Isawiyah dan Hamadza, kadang-kadang menjadi bagian integral peringatan Maulid Nabi. Seringkali perayaan seperti ini berakhir dengan tidak sadarkan diri, yang bagi golongan lain dianggap tidak sesuai dengan watak dan misi peringatan itu.
Di Mesir pada masa Dinasti Mamluk (abad 14 dan 15), peringatan Maulid Nabi diadakan dengan mewah dan megah. Dalam acara itu sultan membagi-bagikan pundi-pundi dan kue kepada para ulama. Pada abad ke-19 M kerajaan Islam di Mesir mengadakan peringatan Maulid Nabi di sebuah taman. Dalam kesempatan itu dibacakan syair berseloka yang mengungkapkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW.
Di Hyderabad (Pakistan), untuk merayakan Maulid Nabi, dimainkan genderang dan terompet selama 12 hari pertama bulan Rabiul Awal. Setelah diadakan ceramah dalam acara puncaknya, seribu gadis cantik tampil menyajikan tarian, dan dalam acara yang dibuka resmi oleh raja setempat itu dipertunjukkan pula akrobat dan puisi. Di India, orang memasak beberapa jenis makanan untuk dipersembahkan kepada ‘roh’ Nabi SAW dan membagikannya kepada fakir miskin.[5]
2.      Berbagai Bentuk Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi sudah menjadi tradisi keagamaan di kalangan umat Islam di berbagai belahan dunia, dalam berbagai bentuk dan motivasi sebagaimana terlihat dalam sejarah di atas termasuk berkembang di Negara Indonesia. Mulai dari motivasi untuk mendapatkan popularitas, sedekah (ibadah sosial), membaca puji-pujian, dan menggugah semangat juang kaum muslim yang tampak sudah lemah (dakwah), sampai motivasi memberikan persembahan kepada ‘ruh’ leluhur/panutan.
Peringatan Maulid Nabi diselenggarakan dengan beragam corak, terdapat perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain. Dari masa ke masa corak tersebut berkembang sesuai situasi dan kondisi serta budaya kaum muslim di wilayah masing-masing. Sebagaimana di wilayah dunia Islam lainnya, di Indonesia peringatan Maulid Nabi diselenggarakan dalam berbagai bentuk sebagai perwujudan tradisi lokal, misalnya perayaan sekaten yang dilakukan kalangan Keraton Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon. Perkembangan bentuk dan variasi peringatan itu terlihat dengan adanya upaya panitia pelaksana untuk melengkapi kegiatan itu, misalnya dengan bakti sosial, festival kesenian, atau seminar (diskusi ilmiah), dll. Penyelenggaranya pun merata, di kampung-kampung, masjid/mushalla, perkantoran, sekolah, dan perguruan tinggi, bahkan peringatan juga diadakan di Istana Negara yang biasanya dihadiri oleh presiden, pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi Negara, korp diplomatik, ulama, pimpinan organisasi politik dan keagamaan, pemuka agama Islam, dan umat muslim.[6]
Di Lombok Nusa Tenggara Barat, Maulid Nabi dirayakan sangat meriah dan penuh dengan nuansa spiritual, terutama oleh para anggota Nahdlotul Wathan. Di Keraton Yogyakarta, perayaan Maulid Nabi dikenal dengan acara sekaten (asalnya: syahadatain), yang diselenggarakan dalam waktu yang cukup panjang dan sangat kuat dipengaruhi budaya lokal.[7] Cara ini tentu berbeda dengan yang dilaksanakan di masjid-masjid pada jaman lampau, yakni dengan membaca syair Arab yang dikenal oleh dunia pesantren dengan al-Barzanji, al-Diba’, dan al-Burdah atau Syaraf al-Anam.[8]  Di pesantren tradisional, selain membaca al-Barzanji, al-Diba’ atau Syaraf al-Anam, juga tahlil dan doa bersama. Sementara itu, di perkotaan perayaan lebih diorientasikan pada aspek dakwah dan sosial dengan tujuan menggairahkan kehidupan beragama dalam keluarga, masyarakat, dan meningkatkan penghayatan dan pengamalan ajaran agama. Kegiatannya bervariasi sesuai kebutuhan dan orientasi lembaga pelaksananya, antara lain ceramah, lomba, diskusi/seminar, khitanan massal, pengobatan gratis, pasar murah (bazar), dan berkunjung ke panti asuhan, dll.
3.      Wacana Kontroversial tentang Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sejak pertama kali diselenggarakan oleh Dinasti Fatimiyah sudah menimbulkan kontroversi. Uji coba ini dirasakan kurang tepat. Oleh karena itu, penguasa Dinasti Fatimiyah berikutnya melarang penyelenggaraan peringatan Maulid Nabi.[9] Bukti lain bahwa keabsahan peringatan Maulid masih diperdebatkan adalah bahwa banyak ulama dari berbagai mazhab secara eksplisit menunjukkan sikap pro dan kontra terhadap tradisi ini. Al-Suyuthi, seorang ulama dari mazhab Syafi’i, menulis kitab Husn al-Maqsid fi ‘amal al-Mawlid untuk mengesahkan tradisi maulid. Sebaliknya, al-Fakihin, seorang ulama dari mazhab Maliki, menolak peringatan Maulid Nabi yang secara terurai dia jelaskan alasan-alasannya dalam kitabnya Al-Mawrid fi Kalam al-Mawlid.[10]
Dalam era modern, peringatan maulid bukan hanya dipersoalkan oleh kelompok reformis-puritan, seperti orang-orang Wahabi yang secara jelas mengharamkannya, tetapi juga oleh orang-orang yang moderat. Argumen “klise” yang mereka ajukan adalah bahwa peringatan Maulid Nabi tidak diperintahkan dalam nash al-Qur’an, juga tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dan juga tidak ditradisikan salaf shalih.[11]
Peringatan Maulid Nabi berubah menjadi perayaan yang sangat popular yang diselenggarakan hampir di setiap kawasan Islam setelah dipopularkan oleh Abu Sa’id al-Kokburi, Gubernur Wilayah Irbil pada masa Sultan Salahudin al-Ayyubi. Peringatan sepenuhnya didukung oleh kelompok elit politik saat itu, dengan tujuan untuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam dalam meng-hadapi perang salib. Namun perlu dicermati, bahwa peringatan ini diselenggarakan dengan menyisipkan kegiatan hiburan, di mana atraksi-atraksinya melibatkan para musisi, penyanyi, serta pembawa cerita (story tellers). Ukuran kemeriahan peringatan bisa dilihat dari banyaknya pengunjung yang datang dari berbagai daerah, bahkan sampai dari wilayah luar kekuasaan Abu Sa’id al-Kokburi.[12]
Di Indonesia, perdebatan sengit tentang peringatan Maulid Nabi ini terjadi sebelum tahun 1970-an. Sampai sekarang, perdebatan serupa juga sesekali masih terdengar, namun resonansinya sudah tidak senyaring era tahun 1970-an, muncul pada saat-saat tertentu dan dalam skala yang kecil.[13]
 Kritik terhadap peringatan maulid di Indonesia pada era sebelum tahun 1970-an diarahkan kepada tradisi membaca tiga kitab maulid, yang dilakukan oleh kalangan pesantren, yaitu al-Barzanji, al-Diba’, dan al-Burdah. Kalangan pesantren memang menjadikan tiga kitab tersebut sebagai  bacaan tunggal dalam setiap kegiatan peringatan Maulid mereka. Perlu diinformasikan bahwa kalangan pesantren bukan hanya membaca tiga kitab tersebut, tetapi juga memasukkan kajian maulid ke dalam kurikulum pesantren, misalnya kajian kitab Madarij al-Su’ud ila Iktisa al-Burud, karangan Muhammad Ibn Umar al-Bantani.[14]
Mereka yang menolak peringatan maulid menganggap bahwa peringatan maulid yang dilakukan dengan cara membaca kitab tadi adalah perbuatan tercela (bid’ah dhalalah). Selanjutnya, mereka munuduh bahwa dengan tetap mempertahankan tradisi maulid, berarti kalangan pesantren telah mengesahkan amalan yang dicela Islam.[15] Alasan yang mereka kemukakan adalah pujian yang termuat dalam tiga kitab tadi melanggar batasan puji-pujian yang digariskan oleh syari’ah. Menurut mereka, materi pujian yang menggambarkan Nabi sebagai pemberi syafa’ah, ampunan, dan keselamatan adalah perbuatan syirik karena pujian seperti itu menempatkan Nabi dalam kapasitas sebagai pemberi keselamatan, sebuah status yang menjadi hak mutlak Tuhan saja.[16]
Penolakan terhadap konsep syafa’ah memang bisa dipahami ketika dengan syafa’ah itu dimaksudkan untuk memosisikan Nabi sejajar dengan Tuhan. Namun demikian, ulama fikih dan ulama kalam sepakat tentang adanya syafa’ah dalam syariat Islam.[17] Hal ini didasarkan pada sejumlah ayat al-Qur’an dan Hadis yang mengungkapkan adanya syafa’ah tersebut, misalnya firman Allah SWT,
... `tB #sŒ Ï%©!$# ßìxÿô±o ÿ¼çnyYÏã žwÎ) ÏmÏRøŒÎ*Î/
“… tiada yang dapat memberi syafa’ah di sisi Allah tanpa izin-Nya…” (Q.S. [2]: 255),
... Ÿwur šcqãèxÿô±o žwÎ) Ç`yJÏ9 4Ó|Ós?ö$#
“…dan mereka tiada memberi syafa’ah melainkan kepada orang yang diridhai Allah …” (Q.S. [21]: 28),

@è% °! èpyè»xÿ¤±9$# $YèŠÏHsd
 “Katakanlah, hanya kepunyaan Allah syafa’ah itu semuanya..” (Q.S. [39]: 44),
`¨B ôìxÿô±o ºpyè»xÿx© ZpuZ|¡ym `ä3tƒ ¼ã&©! Ò=ŠÅÁtR $pk÷]ÏiB ( `tBur ôìxÿô±o Zpyè»xÿx© Zpy¥ÍhŠy `ä3tƒ ¼ã&©! ×@øÿÏ. $yg÷YÏiB 
dan “... Barangsiapa memberi syafa’ah yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) daripadanya. Dan barang siapa yang memberi syafa’ah yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) daripadanya...” (Q.S. [4]: 85).
Dalam riwayat Hadis, Rasulullaah SAW pernah memberi syafa’ah kepada seseorang yang telah meninggal. Hadis yang memberitakan tentang syafa’ah tersebut bukan hanya memiliki kualitas shahih, tetapi juga qudsi. Barangkali karena konsep syafa’ah sudah memiliki landasan nash ayat maupun Hadis, maka sebagaian ulama kemudian menerima keabsahan syafa’ah dengan cara membuat kesepakatan sampai ke tingkat ijma’ (konsensus).[18]
Kendati terdapat kesepakatan ulama dalam menetapkan adanya syafa’ah, Abdur Rahman bin Hasan, tokoh pemurni ajaran Islam, melihat bahwa tidak semua syafa’ah dibenarkan oleh Islam.[19]  Me-nurutnya, syafa’ah memiliki dua bentuk, yaitu syafa’ah yang tidak dibenarkan Islam dan yang dibenarkan Islam. Syafa’ah yang tidak dibenarkan Islam, yaitu syafa’ah yang diberikan untuk orang kafir dan musyrik, sedangkan syafa’ah yang dibenarkan Islam, yaitu yang memenuhi dua kriteria, pertama, syafa’ah yang diizinkan oleh Allah SWT untuk diberikan kepada orang-orang tertentu, tercermin dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 255. Kedua, syafa’ah yang diridhai oleh Allah untuk diberikan kepada orang-orang tertentu, tercermin dalam Q.S. al-Anbiya’ [21]: 28. Syafa’ah yang dibenarkan oleh Islam atas dasar dua kriteria tadi tersimpul dalam Q.S. [20] 109 yang artinya, “Pada hari itu tidak  berguna syafa’ah, kecuali (syafa’ah) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi ijin kepadanya dan Dia telah meridhai perkataannya.”
Perlu dijelaskan bahwa syafa’ah Rasulullah SAW yang diberikan kepada umatnya besok pada hari kiamat itulah jenis syafa’ah yang dibenarkan oleh Islam. Jenis syafa’ah Nabi SAW itulah yang dimaksudkan dalam tiga kitab maulid yang biasa dibaca di pesantren dalam peringatan Maulid. Kitab Qasidat al-Burdah, misalnya, menggambarkan jenis syafa’ah dimaksud sebagaimana yang diriwayatkan dalam salah satu bait syair dalam kitab itu, artinya Dia (Muhammad) adalah orang yang dicintai dan yang syafa’atnya diharapkan kelak bisa membebaskan (umatnya) dari kegalauan suasana (di hari kiamat) yang sangat menakutkan itu. (huwa al-habib al-ladzi turja syafa’atuhu li kulli hawlin min al-ahwal muqtahimi).[20]
Yang menarik dalam mengamati penolakan tersebut adalah bahwa para penolak telah mengeluarkan tradisi pujian kepada Nabi dari dimensi kesejarahannya. Tampaknya mereka tidak memperhitungkan bahwa tradisi pujian sudah ada sejak masa Nabi SAW hidup, artinya tradisi pujian kepada Rasulullah SAW adalah tradisi yang usianya setua Islam itu sendiri. Tradisi ini diperkenalkan oleh tiga penyair resmi Rasulullah SAW, yaitu Hasan Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Rawahah, dan Ka’ab Ibn Malik.
Tradisi pujian kepada Rasulullah ini tidak hanya disetujui oleh Nabi, tetapi juga didorongnya. Hal ini tampak ketika Nabi memuji Ka’ab Ibn Zubair yang menggubah qasidah pujian kepadanya. Nabi setelah mendengarkan pujian yang disampaikan oleh Ka’ab sangat terkesan, sampai-sampai Nabi melepas burdahnya dan dikenakan ke tubuh Ka’ab sebagai hadiah sekaligus ungkapan persetujuan. Qasidah pujian yang digarap oleh tiga penyair Rasulullah dan Ka’ab kemudian menjadi acuan bagi para penyair muslim, ketika berkreasi menciptakan pujian, baik dalam bentuk sya’ir (puisi) maupun nathr (prosa), sebagaimana tampak dalam tiga kitab Barzanji, Burdah, dan Syaraf al-Anam yang beredar sampai sekarang. Produktivitas karya pujian mereka kepada nabi melahirkan jenis pujian khas, dan dengan karakter yang spesifik, yang dalam kajian sastra Arab dikenal dengan istilah al-Mada’ih al-Nabawiyah (Prophetic Penegerics).[21]
Pujian kepada Nabi SAW sering menggunakan bahasa yang penuh dengan ungkapan metaforik dan simbolik agar kesempurnaan pribadi nabi bisa tergambarkan dengan jelas. Hal seperti ini tentunya bisa dimaklumi karena al-Qur’an sendiri ketika menyebut nama Muhammad seringkali diiringi dengan berbagai ungkapan pujian yang elok, agar peran Nabi sebagai manusia pilihan yang harus diteladani bisa tergambarkan.[22]
Pujian kepada Nabi yang terangkum dalam tiga kitab Maulid tersebut, walaupun disajikan dalam bentuk ungkapan penuh metafor dan simbolik, bukan tipe pujian yang mengangkat derajat kemanusiaan Nabi Muhammad SAW sampai ke tingkat Tuhan (deity), bahkan pengarang al-Burdah sendiri, al-Busiri, mengecam mereka yang memuji Nabi sampai menghilangkan dimensi kemanusia-annya. Menurutnya, pujian ekstrim dilarang keras oleh Rasulullah sendiri, sebagaimana yang dinyatakan dalam sabda Beliau bahwa, “La tutruni kama atra al-nashara Isa” artinya, “Janganlah engkau memberikan pujian kepadaku sampai melewati batas, sebagaimana pujian yang diberikan oleh orang nasrani kepada Isa.”[23]
Kritik terhadap Maulid juga diarahkan pada cara para pembaca kitab Maulid melagukan sya’ir dan prosa bersajak dalam kitab maulid tersebut, yang menurut para penolak Maulid, hal itu disertai dengan gerakan kepala.[24] Barangkali yang dimaksud dengan gerakan kepala adalah gerakan untuk berdzikir karena mereka menduga bahwa membaca kitab Maulid selalu dibarengi dengan kegiatan dzikir. Perlu dijelaskan di sini, bahwa gerakan kepala, baik yang dimaksudkan untuk berdzikir ataupun tidak, tidak ada dalam prosesi bacaan kitab Maulid. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan kepala bisa saja terjadi sebagai reaksi spontan terhadap bahan bacaan yang memiliki ritme (prosa bersajak).
Mengkaitkan berzikir dengan pembacaan kitab Maulid memang bisa saja relevan karena peringatan Maulid adakalanya didahului dengan acara dzikiran, sebagaimana yang terjadi di Mesir. Namun demikian, jika pengkaitan antara keduanya dilakukan untuk mengidentifikasi karakter tradisi Maulid di Indonesia, maka pengkaitan seperti itu tidak bisa dibenarkan, sekalipun zikir dengan gerakan kepala adalah model zikir yang diamalkan oleh kalangan pesantren yang notabene adalah pemilik tradisi membaca kitab Maulid di Indonesia.[25]
Mereka yang menolak tradisi maulid juga mendasarkan pada pendapat Ibn al-Hajj (seorang ulama mazhab Maliki), yang dalam kitabnya al-Madkhal sangat mengecam dan mengharamkan Maulid, yang menurut pengamatannya selalu melibatkan aktivitas hiburan. Ibn al-Hajj menilai bahwa dengan memasukkan hiburan ke dalam peringatan Maulid, maka peringatan Maulid itu telah berubah fungsi dari media untuk mengagungkan Nabi SAW menjadi media untuk melakukan maksiat.[26]
Ulama lain yang pendapatnya sering dijadikan sandaran oleh kelompok penolak peringatan Maulid adalah Ibn Taymiyah. Ibn Taymiyah mengecam tradisi peringatan Maulid, jika perayaan (hiburan/maksiat) seperti itu dianggap sebagai bagian integral dalam peringatan Maulid. Perayaan seperti itu dinilai sudah kehilangan nilai peringatan yang sesungguhnya.[27]
Perlu disebutkan bahwa sekalipun Ibn al-Hajj mengecam tradisi Maulid, peringatan Maulid yang tidak dibarengi dengan unsur-unsur hiburan (folkloric elements) baginya diperbolehkan. Dia sendiri mengkategorikan peringatan Maulid yang tidak melibatkan musik, lagu, serta pesta sebagai tradisi yang baik. Sikap seperti ini bisa dimengerti karena Ibn al-Hajj memahami Maulid sebagai peristiwa yang harus diisi dengan kegiatan reflektif dan bukan dengan kegembiraan.[28] Sikap Ibn Taymiyah tidak jauh berbeda dengan sikap Ibn al-Hajj, Ibn Taymiyah hanya menyoroti praktik-praktik popular yang sudah menyatu dengan peringatan Maulid. Sementara itu, peringatan yang semata-mata dilakukan untuk mengungkapkan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW menurutnya bukan kegiatan bermasalah.[29]
Tradisi pembacaan kitab pujian kepada Nabi SAW biasanya dilandaskan kepada pendapat para fuqaha dari mazhab Syafi’i. Ibn Hajar al-Atsqalani, misalnya, menyatakan bahwa tradisi seperti itu menyimpan makna kebajikan. Al-Suyuthi juga menunjukkan sikap toleran terhadap produk budaya yang dihasilkan oleh tradisi mengagungkan kelahiran Nabi SAW.[30] Sikap kedua fuqaha tadi juga disepakati oleh fuqaha Syafi’I yang lain, seperti Ibn Hajar al-Haytami dan Abu Shamah. Bagi kedua ulama terakhir ini, peringatan Maulid menjadi satu perbuatan (baru) yang paling terpuji (wa min ahsani ma ubtudi-a), jika disertai dengan amal ihsan kemasyarakatan, seperti sadaqah, infaq, serta kegiatan lain yang bernilai ibadah.[31]
Mereka yang menolak tradisi Maulid juga menganggap bahwa Hadis yang digunakan oleh pendukung tradisi Maulid adalah Hadis maudlu’ (palsu),[32] misalnya Hadis, “Barangsiapa yang meng-agungkan hari kelahiranku, maka akan aku beri syafa’ah nanti di hari kiamat”. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa orang-orang yang melaksanakan peringatan Maulid memang biasa menggunakan Hadis yang lemah periwayatannya. Oleh karena itu, menurut mereka, orang-orang tersebut bukan hanya bertanggungjawab terhadap tersebarnya Hadis Maudlu’ tentang maulid, tetapi juga Hadis Maudlu’ lain yang melahirkan berbagai tradisi keagamaan di Indonesia yang tidak dibenarkan oleh agama.[33]
Bagi pendukung tradisi maulid, mengatakan bahwa tradisi maulid yang dilakukan itu tidak didasarkan pada Hadis Maudlu’ tersebut. Mereka juga mengetahui bahwa Hadis di atas maudlu’ dan siapa pun yang memalsukan Hadis adalah dosa. Kalangan pendukung ini menganggap bahwa peringatan Maulid sudah diisyaratkan sendiri oleh Rasul Allah ketika beliau dalam sebuah Hadis diriwayatkan, pernah menyuruh sahabatnya berpuasa di hari Senin untuk memperingati hari kelahirannya.[34] Ibn al-Hajj yang enggan menerima peringatan Maulid juga menggunakan Hadis tersebut sebagai dalil untuk mengesahkan peringatan Maulid.[35] Perlu disebutkan bahwa Hadis dimaksud memiliki tingkat keabsahan yang baik karena diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Ahmad bin Hanbal.[36]
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kelompok yang menolak Maulid menganggap bahwa peringatan tersebut tidak memiliki dasar yang kuat. Mereka juga berkeberatan dengan materi bacaan yang termaktub dalam kitab pujian kepada Rasul Allah. Walaupun demikian, kelompok yang mempraktikkan peringatan tersebut tidak bisa mendatangkan dalil dari al-Qur’an, mereka mendapatkan landasan hukum dari mazhab Syafi’i, yang menetapkan tradisi seperti itu sebagai perbuatan yang diseyogyakan (bid’ah hasanah) dari sebuah Hadis yang secara tidak langsung telah mengisyaratkan perlunya peringatan Maulid.
Perlu disebutkan bahwa peringatan Maulid yang biasanya dipraktikkan oleh kelompok pendukung, khususnya pesantren, semata-mata diisi dengan membaca kitab pujian kepada Rasul Allah dan tidak disertai dengan atraksi hiburan apapun. Atraksi hiburan dan maksiat dalam peringatan Maulid yang menyebabkan para ulama abad tengah, seperti Ibn al-Hajj dan Ibn Taymiyah, mengaggap  peringatan seperti itu sebagai perbuatan yang bermasalah. Demikian pula Muhammad Abduh, seorang ulama modern yang juga menyatakan keberatannya atas peringatan Maulid, hanya mengkritik kegiatan-kegiatan di luar acara inti peringatan, seperti pasar malam, panggung gembira, dan lainnya. Abduh menamakan peringatan yang diisi dengan atraksi hiburan sejenis itu dengan istilah pasar kefasikan (suq al-fusuq).[37]
Perayaan Maulid dalam tradisi budaya Islam Jawa, misalnya Grebeg Maulid keraton Yogyakarta, biasanya melibatkan atraksi hiburan dalam sebuah pasar malam, seperti gelar wayang kulit, pertandingan olahraga, drama, lotere, bahkan judi.[38] Praktiknya sarat dengan sinkretisme. Misalnya acara mengarak gunungan (makanan yang berbentuk gunung dihiasi berbagai macam bunga, telur, dan buah-buahan), yang diyakini bisa melimpahkan berkah bagi para pesertanya. Menurut hemat penulis, yang demikian itu sudah tidak tepat lagi disebut sebagai peringatan, namun lebih pada perayaan karena lebih mengedepankan aspek kegembiraan daripada aspek reflektifnya. Bentuk perayaan seperti inilah yang menjadikan ulama abad tengah enggan menyetujuinya.
Jika menggunakan tolok ukur yang ditentukan oleh Ibn al-Hajj dan Ibn Taymiyah yang dipegangi oleh kelompok penolak tradisi Maulid, maka Grebeg Maulid termasuk kategori peringatan yang bermasalah. Dengan demikian, yang pantas mendapat kritikan bukan tradisi membaca kitab pujian kepada Rasul Allah, tetapi Grebeg Maulid yang berporos pada acara hiburan dan ritual sinkretis.
III.             PENUTUP
Polemik tentang peringatan Maulid adalah sarana untuk menguji keabsahan tradisi keagamaan dan bukan sekadar fenomena konflik internal antarkelompok dalam masyarakat Islam. Penolakan terhadap tradisi Maulid adalah sikap yang perlu diambil untuk menghindari munculnya perilaku berlebihan dalam mengaktualisasikan rasa hormat dan cinta kepada Nabi. Sikap berlebihan bisa saja terjadi karena silau dengan berbagai sifat kesempurnaan yang ada pada diri Nabi. Pandangan pro dan kontra terhadap keberadaan tradisi maulid secara substantif tidak bertentangan antara satu dengan lainnya. Dua pandangan yang lahirnya bertentangan itu diperlukan untuk menciptakan asas keseimbangan (equilibrium). Seimbang karena menempatkan Nabi sebagai manusia pilihan yang kelahirannya patut diperingati, namun dalam waktu yang sama harus mengindahkan norma yang digariskan oleh Nabi sendiri. Peringatan Maulid memiliki kedudukan yang istimewa di hati komunitas muslim Indonesia. Dia adalah satu-satunya peringatan hari besar Islam yang diselenggarakan di Istana Negara. Presiden Pertama RI berwasiat kepada siapa pun yang menjadi penggantinya agar selalu menyelenggarakan peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad SAW di Istana Kepresidenan.
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. 1983. “al-Ittiba’ wa al-Taqlid”, dalam al-Imam, Muhammad Abduh (Ed.) Adunis dan Khalidah Sa’id. Kairo: Dar al-’Ilm li al-Malayin.
‘Alawi al-Maliki, Muhammad Ibn. 1983. Baqah ‘Atirah min Siyagh al-Mawalid wa al-Mada’ih al-Nabawiyah al-Karimah. TTP: TP.
AG, Muhaimin. 2001. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Al-Bajuri, Ibrahim. 1947. Hasyiyat al-Bajuri ‘ala Matn Qasidah al-Burdah. Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-’Arabiyah.
Al-Hajj, Ibn. 1929. Al-Madkhal Vol.2. Kairo: Al-Matba’ah al-Misriyah bi al-Azhar.
al-Sandubi, Hasan. 1948. Tarikh al-Ikhtilaf bi al-Mawlid al-Nabawi. Kairo: Mathba’ah al-Istiqomah
Al-Suyuthi. 1985. Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-Mawlid. Kairo: Dar al-Kutub al-’Ilmiyah.
Bin Muhammad al-Syaukani, Muhammad bin Ali. 1973. Nail al-Authar, Juz 4. Kairo: Dar al-Jil.
Chalil, Moenawar. TT. “Fatwa Oelama jang Haq tentang Bid’ah Maoeloedan”, dalam Pembela Islam, No. 65.
Hamim, Thoha. TT. “Pesantren dan Tradisi Maulid: Telaah atas Kritik terhadap Tradisi Membaca Kitab Maulid di Pesantren” dalam Makalah; disampaikan dalam acara dies natalis ke-32 IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Khallikan, Ibnu. 1842-1987. Biographical Dictionary Vol. 2. Paris: Printed for The Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland.
Mahfudh, Sahal. 1990. “Nabi Sendiri Sudah Mengisyaratkan Perlunya Peringatan Maulid”, dalam Maulid Nabi Alih Semangat Zaman Ini. TTP: TP.
‘Umar al-Bantani, Muhammad Ibn. TT. Madarij al-Su’ud ila Iktisa al-Burud. Semarang: Matba’ah Thaha Putra.
Wensinck, A.J. 1947. Syafa’a Ensyclopedia of Islam Vol. 7 (Ed.) M. Th. Houtsma et al. Leiden: EJ. Brill.
Tim Penyusun. 2005. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Tim Penyusun. 1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka.
Tim Penyusun EHI. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.




[1]     Adat yang dianggap kebiasaan dan bersinonim dengan kata ‘urf adalah sesuatu yang dikenal atau diterima secara umum. Adat umumnya mengacu pada konvensi yang sudah lama ada, baik yang sengaja diambil atau akibat dari penyesuaian tidak sengaja terhadap keadaan, yang dipatuhi dan sangat meninggikan perbuatan atau amalan. Lihat pendapat Levy, R sebagaimana dikutip oleh Muhaimin A.G., Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2001), hal. 166.
[2]     Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hal. 335.
[3]     Ibid.
[4]     Thoha Hamim, “Pesantren dan Tradisi Maulid, Telaah atas Kritik terhadap Tradisi Membaca Kitab Maulid di Pesantren”, dalam Makalah disampaikan dalam acara Dies Natalies ke-32 IAIN Sunan Ampel Surabaya.
[5]     Tim Penyusun, Ibid., hal. 336.
[6]     Tim Penyusun, Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990), hal. 204
[7]     Ibid, hal. 336.
[8]     Thoha Hamim, Ibid.
[9]     Hasan al-Sandubi, Tarikh al-Ikhtilaf bi al-Mawlid al-Nabawi (Kairo: Mathba’ah al-Istiqomah, 1948), hal. 64-65.
[10]    Al-Suyuthi, Husn al-Maqsid fi ‘Amal al-Mawlid (Dar al-Kutub: al-’Ilmiyah, 1985), hal. 45-61.
[11]    Thoha Hamim, Ibid.
[12]    Ibnu Khallikan, Biographical Dictionary, Vol. 2 (Paris: Printed for The Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland, 1842-1871), hal. 539
[13]    Lihat artikel-artikel yang dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah dan Aula. Tim PP Majlis Tarjih “Periangatan Maulid Nabi” Suara Muhammadiyah (Juli 1993), hal. 21 : Zulfahmi, “Mawlid ke 1466” Suara Muhammadiyah (September 1993), hal. 28-29. Sahal Mahfudh, “Nabi Sendiri Sudah Mengisyaratkan Perlunya Peringatan Maulid”, Aula (Oktober 1990), hal. 67-68. “Maulid Nabi Alih Semangat Zaman Ini”, Aula (Oktober 1990).
[14]    Muhammad Ibn ‘Umar al-Bantani, Madarij al-Su’ud ila Iktisa al-Burud (Semarang: Matba’ah Thaha Putra, TT).
[15]    Thoha Hamim, Ibid.
[16]    Untuk mengetahui pendapat kelompok penolak kegiatan maulid, lihat pendapat A. Hasan dan Munawar Cholil dalam Fiderspiel: The Persatuan Islam : Moenawar Chalil “Fatwa Oelama jang Haq tentang Bid’ah Maoeloedan” Pembela Islam No. 65.
[17]    Tim Penyusun EHI, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal. 1677.
[18]    A.J. Wensinck “Syafa’a” Ensyclopedia of Islam Vol. 7 (Ed.) M. Th. Houtsma et. al. (Leiden: EJ. Brill, 1987), hal. 251.
[19]    Tim Penyusun EHI, Ibid, hal. 1677.
[20]    Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyat al-Bajuri ‘ala Matn Qasidah al-Burdah (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-’Arabiyah, 1947), hal. 22-23.
[21]    Sebagaimana dikutip oleh Thoha Hamim dari karya Zaki Mubarak, Al-Mada’ih al-Nabawiyah (Beirut: Dar al-Jil, 1992), hal. 11-12.
[22]    Q.S. al-Ahzab [33] : 43 “Dia yang salawat (memberikan rahmat) kepadamu beserta malaikat-Nya, supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada terang-benderang. Dia Pengasih kepada orang-orang mukmin.” Ayat 56 al-Ahzab artinya : “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bersalawat kepada Nabi (Muhammad). Hai orang-orang yang beriman, bersalatlah kamu kepadanya dan ucapkanlah salam dengan salam yang sempurna”.
[23]    Al-Bajuri, Hasyiyat, hal. 26.
[24]    Moenawar Chalil, Ibid, hal. 22.
[25]    Thoha Hamim, Ibid.
[26]    Ibn al-Hajj, Al-Madkhal Vol. 2, (Kairo: Al-Matba’ah al-Misriyah bi al-Azhar, 1929), hal. 11-13.
[27]    Moenawar Chalil, Ibid, hal. 21.
[28]    Ibn al-Hajj, Ibid., hal. 15
[29]    Thoha Hamim, Ibid.
[30]    Al-Suyuthi, Ibid, hal. 45-51
[31]    Sirajudin Abbas, 40 Masalah Agama (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1992), hal. 177-181
[32]    Moenawar Chalil, “Hadis-hadis Mauludan”, Dalam Abadi (29 Pebruari 1953).
[33]    Moenawar Chalil, “Ratjoen Jang Berbahaja Bagi Oemmat Islam”, Dalam Pembela Islam, No. 54, hal. 25.
[34]    Muhammad Ibn ‘Alawi al-Maliki, Baqah ‘Atirah min Siyagh al-Mawalid wa al-Mada’ih al-Nabawiyah al-Karimah, (TTP: TP, 1983), hal. 6.
[35]    Ibn al-Hajj, Al-Madkhal, hal. 3
[36]    Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Nail al-Authar, Juz 4 (Kairo: Dar al-Jil, 1973), hal. 335. Terjemahan Hadis tersebut adalah “Dari Abi Qatadah, bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang puasa hari Senin, lalu Nabi menjawab; hari Senin adalah hari kelahiranku dan hari dimana saya menerima wahyu” (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Daud)”
[37]    Muhammad Abduh, “al-ittiba’ wa al-Taqlid”, dalam al-Imam, Muhammad Abduh (Ed.) Adunis dan Khalidah Sa’id (Kairo: Dar al-’Ilm li al-Malayin, 1983), hal. 61.
[38]    Judaringrat, “Sambutan Ketua”, dalam Risalah Sekaten I (Nopember 1954).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar