Rabu, 02 Februari 2011

ASSUNNAH PERIODE TABI’IT TABI’IN

ASSUNNAH PERIODE TABI’IT TABI’IN
Oleh : Safrudin, S.Sos.I

I.           PENDAHULUAN
Sunnah, dalam pemahaman umum dipahami sebagai ucapan, tindakan dan keteladanan Nabi Muhammad. Dalam perjalanannya sunnah ditetapkan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam menentukan hukum-hukum Allah SWT di muka bumi. Sunnah merupakan pelengkap yang penting dalam Al-Qur’an, banyak sekali hubungan diantara keduanya antara lain hal-hal tertentu yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an dan As Sunnah sering tampil sebagai pelengkap terhadapnya. Lebih dari itu Al-Qur’an tidak mengungkapkan seluruh peritah-Nya secara eksplisit, bahkan yang demikian ini juga berlaku terhadap hal-hal yang fundamental. Jadi ketika Al-Qur’an memerintahkan sholat tidak ada satupun ayat yang menjelaskan secara detil tentang pelaksanaan sholat tersebut. Di sini sunnah menerangkan cara-cara sholat dengan gamblangnya.
Di sisi lain pentingnya sunnah muncul dari fungsi Nabi sebagai Rasul bagi sekalian alam sehingga segala tindakan, ucapan dan ketetapan Nabi jadai suri tauladan. Mencermati beberapa ungkapan di atas tak dapat dibayangkan seandainya tidak dibukukan. Bagaimana mungkin misi Muhammad akan terjaga keasliannya ?
Dalam pembahasan makalah ini akan dicoba untuk membahas awal mula adanya pembukuan dan penerbitan sunnah rosul pada masa tabi’it tabi’in. Dengan pembagian sebagai berikut : pendahuluan, pengertian hadits, tokoh-tokoh hadits, pengenalan tokoh Imam Malik bin Annas dan kesimpulan.




II.        PENGERTIAN TABI’IT TABI’IN DAN BATASANNYA
A.    Pengertian Tabi’it Tabi’in
Periodesasi penyusunan sunnah dibagi dalam beberapa tahap diantaranya masa shohabat, tabi’in dan tabi’at tabi’in. “Kata tabi’it tabi’in sendiri merupakan asal dari kata kerja taba’a : mengikuti pengikut, penerus”.[1] Dari akar kata ini ditemukan ungkapan istilah tabi’it tabi’in yaitu pengikutnya pengikut. Kelompok ini yang menggantikan generasi tabi’in, mereka membentuk generasi salaf yang memiliki otoritas tertinggi dalam bidang keagamaan bila dibandingkan dengan generasi sesudahnya. Lantaran lebih dekat dengan generasi kenabian yang dijadikan petunjuk terhadap kemurnian ajaran agama. Sedangkan tokoh lain Subhi Sholih mengungkapkan tabi’it tabi’in adalah orang yang bertemu dengan tabi’in beriman kepada nabi dan meninggal dunia dalam keadaan memeluk Islam. Para ulama sepakat bahwa Malik bin Annas dan Imam Safi’I masuk dalam kelompok ini.[2] Ungkapan ini diperkuat pula oleh Dr. Nurrudin ‘Itr bahwa tabi’it tabi’in adalah orang yang bermushafahah dengan tabi’in dalam keadaan beriman kepada Rosul.[3] Dari beberapa ungkapan para tokoh tersebut bisa diambil pengertian bahwa tabi’it tabi’in adalah suatu kelompok generasi Islam yang hidup dan berjumpa dengan tabi’in, beriman kepada rosul serta meninggal dunia dalam kondisi memeluk Islam.

B.     Pembatasan Masa Tabi’it Tabi’in
Dalam menentukan rentang masa tabi’it tabi’in para ulama berbeda pendapat namun ada suatu kejelasan tentang rentang waktu tersebut dengan melihat akhir masa tabi’in. Al Hakim menentukan masa berakhirnya masa tabi’in setelah orang yang bertemu dengan shohabat terakhir meninggal. Jadi tabi’in terakhir adalah orang yang bertemu dengan Abu Thufail di Mekkah, As Saib di Madina, Abu Ummah di Syam, Ubaidillah bin Auf di Kuffah dan Annas bin Malik di Basyroh.[4] Atau ada yang menyebutkan lagi Khalaf bin Khalifah yang wafat pada tahun 181 H. Dianggap sebagai tabi’in terakhir yang wafat.[5] Dalam ungkapan lain Subhi Shalih menyatakan bahwa Imam Ahmad bin Hambal dianggap termasuk generasi sesudah tabi’it tabi’in karena ia wafat pada tahun 241 H sedangkan periode tabi’it tabi’in berakhir pada tahun 220 H.[6] Ada lagi yang menyatakan bahwa periode tabi’it tabi’in berakhir pada tahun 150 H. dengan ini dapat dikatakan bahwa periode tabi’it tabi’in dimulai tahun 151 H dan berakhir 220 H, dalam pembagian kelompok tabi’it tabi’in dibagi menjadi tiga yaitu thabaqat tabi’it tabi’in yang pertama pertama Al Auzaiy, Malik bin Annas dan Sofyan Tsauri serta tabi’it tabi’in yang kedua termasuk di dalamnya Ibnu Uzaiyah dan Ibnu Ulaiyyah dan berakhir dengan thobaghot tabi’it tabi’in yang kedua termasuk didalamnya Ibnu Uzaiyah dan Ibnu Ulaiyyah dan berakhir dengan thobaghot tabi’it tabi’in yang terakhir. Dalam kelompok ini termasuk Abu Dawud At Thoylisi dan Asy Syafi’i.

III.     CARA PENERIMAAN DAN PENYAMPAIAN HADITS
Telah kita ketahui kemampuan para penulis hadits pada abad kedua hijriyah secara teknis lebih baik dan cukup memadai artinya bahwa kemampuannya dalam bidang tulis menulis, baca dan pembukuan sudah mulai berkembang. Pada kesempatan ini kita akan membagi sistem penerimaan dan penyampaian hadits sebagai berikut :
1.      Penyampaian dengan bahasa lisan. Contoh kejadian ini sebagaimana yang dilakukan oleh Sofyan Tsauri, Abdullah bin Abdullah Al Aswad Al Harisi mengatakan ketika Sofyan merasa tidak aman beliau berusaha menyelamatkan buku-bukunya dan ketika keadaan sudah aman beliau memanggil saya dan Yazid Al Mukhibi. Kami berdua lalu mengeluarkan kitab-kitab beliau. Ketika saya ketemukan bahwa dalam harta rikaz wajib dikeluarkan zakatnya 1/5 beliau tertawa lalu mengambil sembilan alat penyimpan buku lagi dan diberikan kepada kami. Beliau berkata “semua itu kembalikan kesini” seraya menunjuk kebawah dadanya. Saya lalu berkata kalau begitu tinggalkan saja kitab ini, sekarang beritahukanlah hadits itu kepada kami, beliau lalu meriwayatkan hadits kepada kami tanpa melihat kitab.[7] Metode ini sebetulnya sudah mulai tampak sejak abad II hijriyah dan berlangsung sampai lama sekali sesudah itu. Tetapi dalam lingkup yang sempit dan sangat sederhana. Para muurid tinggal dalam waktu yang cukup lama. Dan dari pemahaman semacam ini lama kelamaan akan memperoleh hadits dari guru-gurunya.
2.      Guru membacakan kitab
Dalam membaca kitab dituntut untuk teliti dan sabar, seorang guru punya kebiasaan membacakan hadits-hadits kepada muridnya dengan syarat mudah didengar dan mudah dipahami. Cara ini dibagi dalam beberapa kelompok antara lain :
a)      Guru membacakan kitabnya sendiri sedang murid mendengarkanya. Kondisi seperti ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Ahmad, ia mengatakan bahwa Abdullah bin Mubarok adalah orang yang paling banyak punya hadits, ia juga seorang hafidz, ia tidak pernah mengajarkan hadits kecuali membaca kitab.[8]
b)      Guru membacakan kitab orang lain sedang murid mendengarkannya. Abu Abdillah mengatakan bahwa Ibnu Jayid mengajarkan kitab-kitab dari orang lain.[9]
c)      Murid membacakan suatu kitab sedang guru mendengarkannya. Guru di sini berfungsi sebagai fasilitator bagi muridnya dengan proses pembelajaran lebih mengaktifkan kegiatan siswa. Kegiatan semacam ini sebagaimana biasa dilakukan oleh Ibnu Mahdi, ia berkata tentang kitab As Sholah. Saya membacakannya kepada Malik begitu juga kitab-kitab yang lain, saya membacakannya kepada beliau, waktu membaca saya melihat kitabku.[10] Tampaknhya memang ada sejumlah ahli-ahli hadits yang sering membacakan kitab-kitab tertentu dihadapan gurunya. Habib bin Abu Thalib sekretaris Malik bin Annas, ia selalu membacakan hadits dihadapan Malik bin Annas. Sejak awal abad II hijriyah metode membacakan kitab dihadapan guru sudah dikenal. Metode ini sangat berkembang dikalangan ahli-ahli hadits dan tampaknya kadang-kadang guru membagikannya kepada para murid. Ibnu Hibban mengatakan habib bin Abu Tholib sekretaris Malik bin Annas meriwayatkan hadits dari orang-orang yang kurang tsiqoh. Ia membukukan hadits-hadits orang lain dalam buku mereka. Oleh karena itu orang yang mendengar pembacaan hadits dari Habib tidak dapat dijamin keshohihannya.[11] Dari kritikan Ibnu Hibban ini dapat disimpulkan bahwa membagi-bagi naskah hadits kepada murid-murid lalu diminta untuk membacakannya itu sudah biasa terjadi. Kalau hal itu tak pernah dilakukan kenapa ada kritikan Ibnu Hibban.
3.      Imla’
Sebetulnya banyak sekali contoh-contoh yang harus dilakukan oleh para sahabat bahkan rasul sendiri tentang metode imla’ ini. Tapi juga ada satu hal yang dilakukan pada abad II sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Nu’aim, ia berkata saya melihat Sofyan datang ketempat Umar bin Dzar ia menanyakan sesuatu tetapi Ats Tsauri tidak menulis. Kemudian Sofyan bangun lalu pergi ke padang atsir dan saya mengikutinya. Saya lihat ia duduk kemudian mengeluarkan papan-papan dari tempat tali celananya lalu ia menulisnya.[12] Atau juga hal ini yang pernah dilakukan oleh Ibnu Juraiji sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hambal, seketika Ibnu Juraiji datang ke Basyroh. Ahmad bin Mu’adz berdiri dan bikin ribut seraya berkata “kami tidak mau menulis hadits kecuali di imla’kan.” Ibnu Hammbal ditanya apakah Ibnu Juraiji kemudian mengimla’kan ? Jawabnya ya. Mereka menulis berdasarkan imla’.[13] Dengan melihat beberapa kejadian di atas tampaknya metode imla’ juga dipakai tapi kurang begiru populer bila dibanding dengan metode lainnya yang sudah dilakukan pada saat itu.
4.      Pinjam meminjam dalam rangka menyeleksi.
Berkaitan dengan masalah penyebaran hadits baik dengan cara lisan, imla’ ada satu hal penting yang harus dilakukan pada masa tabi’it tabi’in yaitu tentang pinjam meminjam kitab dan saling koreksi. Sofyan Sairi pernah mengoreksi kitab-kitab zaidah. Ahmad bin sim’an mengatakan bahwa Ibnu Mahdi berkata “Zaidah meminjamkan kitab-kitabnya kepada Sofyan Sairi.” Tanya Ahmad bin Sim’an “Apakah berita itu benar?” jawab Ibnu Mahdi Ya. Bahkan mereka tidak berbeda pendapat kecuali dalam sepuluh hadits saja.[14] Kegiatan serupa juga sering dilakukan Mailk bin Annas, ketika itu Ibnu Wahab diberi tahu bahwa Ibnu Al Qosim banyak berbeda pendapat tentang masalah hadits dengan dia. Ia menjawab ya. Memang Ibnu Al Qosim datang ketempat Maik ketika Malik sudah tua, sedang saya datang ketempat Malik ketika Malik masih muda, beliau masih segar dan kuat, kitabku diambilnya dan dibaca apabila beliau menemukan kekeliruan dalam kitabku, beliau mengambil kain lalu dibasahi, kemudian dihapusnya kekliruan itu, setelah itu beliau membetulkan kembali.[15] Mencermati beberapa kejadian tersebut bisa diambil pengertian tentang cara penyampaian dan penerimaan hadits pada waktu itu dengan mengemukakan bahasa tulisan melalui kitab-kitab yang ada, kepingan kayu, melalui hafalan dengan metode mendengarkan ucapan para guru-gurunya. Demikian juga metode imla’ sudah dilakukan bersamaan sekaligus dengan koreksinya, dengan korektor para gurunya.

IV.     TOKOH-TOKOH HADITS MASA TABI’IT TABI’IN
1.      Al Auza’iy
Nama lengkapnya Abu Amr Abdurrahman Ibnu Amr As Syauf Ad Dimaski. Ia juga dikenal seorang imam fiqh. Dilahirkan pada tahun 88 H dan wafat pada tahun 157. Beliau menerima hadits dari golongan tabi’in . abdurrahman Ibnu Muhdi berkata “tak ada seorangpun di Syam yang lebih alim tentang sunnah selain Al Auzay”.[16]
2.      Syu’bah bin Hajaj
Syu’ubah Ibnu Al Hajaj ialah Abu Bustham Syu’ubah Ibnu Al Hajaj Al Azdi. Beliau berasal dari Wasith kemudian pindah ke Basyroh. Beliau seorang hafidz dan menerima hadits dari Ibnu Sirin, Amr Ibnu Diman dan lain-lain. Tanggal lahirnya tidak diketahui hanya beliau wafat pada usia 77 tahun pada permulaan tahun 160 H. Keilmuannya dalam bidang hadits Sofan As Sairi berkata “Syu’ubah adalah amirul mukminin dalam bidang hadits”.[17]
3.      Sofyan As Tsauri
Dia adalah Al Hafidz, Ad Dhabith (penghafal yang cermat), dengan nama lengkap Abu Abdillah Sofyan bin Sa’id Al Kufi. Karena begitu cermatnya dalam hadits Syu’ubah bin Hajaj, Sofyan bin Uyaynah, Yahya bin Ma’in memberi gelar kepada amirul mukminin fil hadits. Abdullah bin Mubarok berkata “aku telah mencatat dari 1100 orang guru dan aku tidak pernah mencatat dari seorang yang keutamaannya melebihi Sofyan.[18]” Beliau lahir di Basrah pada tahun 97 H dan wafat pada tahun 161 H.

4.      Laits bin Sa’ad
Nama lengkapnya Al Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman Al Fahmi. Ia seorang kaya raya bahkan hasil tahunannya lebih dari 20.000 dinar. Al Laits sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi selalu menjahui Tadlis dalam periwayatannya, tetapi ia berpendapat bukan halangan tanpa ijazah.[19]
5.      Malik bin Anas
Beliau seorang ahli fiqh dan hadits pengarang kitab Muwaththo’ dan disebut-sebut sebagai Hujjah Allah SWT atas makhluknya sesudah tabi’in, wafat tahun 179 H.
6.      Waqi’ Ibnu Al Jarrah
Nama lengkapnya Abu Sufyan Waqi’ Ibnu Jarrah Ibnu Malik Ibnu ‘Adiy salah seorang dari ‘Ulama tabi’it tabi’in dan seorang hafidz ahli hadits besar di Kuffah. Tentang kebesarannya, Ibnu Ma’in berkata : “Tak pernah aku melihat seorang pun yang meriwayatkan hadits semata-mata karena Allah SWT kecuali dari Waqi”.[20] Beliau merupakan gurunya Imam Syafi’I dilahirkan pada tahun 127 H, dan wafat tahun 197 H.
7.      Sufyan Ibnu ‘Uyainah
Beliau punya nama lengkap Abu Muhammad Sufyan Ibnu Al Imron Al Kufiy Al Hailaliy. Beliau menerima Hadits dari Naz Zuhri, Amr bin Dinar, As Sya’biy, Abdullah Ibnu Dinar, Muhammad Ibnu Mungkadir dan dari sejumlah ‘Ulama-ulama lain. Ahmad Ibnu Abdullah berkata : “Ibnu ‘Uyainah seorang yang paling besar pembicaraannya, dia salah seorang dari hukama’ hadits”.[21] Beliau lahir pada tahun 107 H, dan wafat tahun 198 H.
8.      Abdurrahman Ibnu Mahdi
Abdurrahman Ibnu Mahdi punya nama lengkap Abu Sa’id Abdurrahman Ibnu Mahdi Ibnu Hasan Ibnu Abdurrahman Al Ambary Al Bahiy. Beliau seorang imam hadits yang jadi pegangan umat di masanya. Tentang kepakarannya Ali Ibnu Madini berkata : Demi Allah SWT andai kata saya bersumpah bahwa saya tidak pernah melihat orang yang lebih alim dari pada Ibnu Mahdi.
9.      Yahya bin Sa’id Qatthan
Beliau adalah Abu Sa’id Yahya Ibnu Said Ibnu Faruh At Tamimy Al Bashry Al Qatthan. Ibnu Munjuaih berkata : Yahya Al Qatthan adalah penghulu ilmu baik dalam bidang maupun dalam bidang fiqih. Beliau dilahirkan pada tahun 127 H, dan wafat pada tahun 198 H.
10.  As Syafi’i
Beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris Ibnu Abas Ibnu Ustman Ibnu Syafi’i Ibnu As Syaib Ibnu As Syaib Ibnu Ubaid Ibnu Abdul ‘Aziz Ibnu Abdul Mutholib Ibnu Abdul Manaf. Beliau lahir di Ghuzzah pada tahun 150 H, ahli dalam  bidang fiqih dan hadits. Pada usia tujuh tahun telah hafal Al Qur’an dan pada usia sepuluh tahun telah menguasai kitab Al Muaththa’ karangan Imam Malik.
Imam Syafi’i mengumpulkan hadits yang diriwayatkannya dalam suatu kitab yang diberi nama Al Musnad, Musnad ini telah disyarahkan oleh Ibnu Atsir (504 H), dengan nama Asy Syafi.[22] Disamping itu beliau juga mengarang Mukhtaliful Hadits yang berisi tentang jalan atau cara menguatkan sunnah dan cara mengharuskan kita menerima Hadits Ahad.
Pada masa Tabi’it Tabi’in ini telah dimulai pemisahan Hadits, tafsir dari hadits umum dan juga pemisahan hadits-hadits sirah dan maghazinya.  Maka mula-mula memisahkan hadits-hadits yang berpautan dengan sirah ialah Muhammad Ibnu Ishaq Ibnu Yasar Al Muttaliby (151 H).

V.        PENGENALAN TOKOH MALIK BIN ANAS
A.    Biografi Malik bin Anas
Nama lengkap Malik bin Anas ialah Malik bin Anas bin Abi ‘Amir Al Asybahy, nisbat kepada Dzi Asbah seorang diantara raja Yaman dan mendapat julukan Abu Abdullah. Beliau dilahirkan disuatu tempat yang bernama Zul Marwah sebelah utara Madinatul Munawwaroh, kemudian beliau tinggal di Al Akik dan diteruskan di Madinah.
Tentang tahun kelahirannya para ahli sejarah berbeda pendapat ada yang menyatakan tahun sembilan puluh, sembilan empat, sembilan lima, dan sembilan tujuh hijriah. Perselisihan tarikh ini terjadi sejak dulu.[23] Diceritakan waktu ibunya mengandung, usia kandungan imam Malik berumur dua tahun, ada yang menyatakan tiga tahun baru lahir.[24]
Imam Malik hafal Al Qur’an dan hadits-hadits Rosul ingatannya sangat kuat dan sudah menjadi adat kebiasaannya bila ia mendengar hadits dari gurunya langsung dihafalkan dan dikumpulkan.
B.     Tokoh Imam Malik bin Anas dalam pembukuan sunnah
Tentang ketokohan beliau tidak diragukan lagi, bahkan beliau sering disebut-sebut Hujjatul Isllam setelah tabi’in, begitu juga kemampuannya dalam bidang hadits sudah masyhur dan tidak diragukan lagi.
Imam Malik merupakan tokoh jurnalis hadits yang paling menentukan metode ini dengan kitabnya Muaththa’.[25] Untuk menyusun Al Muwaththa’ ia menghabiskan waktu selama empat puluh tahun. Selama waktu itu pula ia menunjukkan kepada tujuh puluh orang ahli fiqih Madinah. Kitab tersebut menghimpun seratus ribu hadist. Dan yang meriwayatkan Al Muwaththa’ dari Imam Malik lebih dari seribu orang.[26] Karena itu naskahnya berbeda-beda, seluruhnya berjumlah tiga puluh naskah, tetapi yang terkenal hanya dua puluh buah. Dan paling masyhur ialah riwayat Yahya bin Yahya Al Laitsy Al Andalusy Al Mahmudy.
Sejumlah ulama berpendapat bahwa sumber-sumber hadits itu ada tujuh, yaitu Al Kutub As Sittah ditambah Al Muwaththa’. Ketika melukiskan kitab besar ini, Ibnu hazm berkata : “Al Muwaththa’ adalah kitab fiqih dan hadits, aku tidak pernah melihat bandingannya”.[27] Tentang Al Muwaththa’ ini Imam Syafi’i berkata : “Imam Malik tidak menerima hadits-hadits yang diragukan kebenarannya”.
Malik adalah seorang yang sangat alim dalam ilmu hadits. Untuk meningkat dalam derajat ini adalah suatu yang amat sukar. Beliau sampai tingkat ini karena hasil jerih payahnya yang tidak pernag mengenal rasa jenuh dan beliau sangat berhati-hati dalam pengambilan hadits. Sebagai bukti ketelitian dan keteguhannya adalah perkataannya : “Aku menulis seratus ribu hadits dengan tanganku sendiri dan juga perkataannya bahwa ilmu ini (ilmu hadits) ialah agama. Oleh karena itu hendaklah berhati-hati dan pikirkanlah terlebih dahulu tentang pembawa (Rowi hadits) tersebut sehingga beliau berkata : “Beliau telah menemui tujuh puluh orang yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda di sini (di tepi tiang masjid) dan beliau berkata : “aku tidak mengambil walaupun satu hadits dari mereka.[28] Karena kehati-hatiannya pula Imam Malik memperhatikan sampai hal-hal yang sangat kecil, huruf Ba’, Ya’ dan Ta’ yang ada pada hadits Rasulullah ia perhatikan benar seperti yang diceritakan Imam Baihaqi dalam Al Madkhal.[29]
Imam Malik adalah seorang yang sangat menghormati hadits-hadits Rasulullah SAW walaupun banyak orang yang mempelajari berbagai macam bidang. Apabila ia ditanya tentang sesuatu yang berhubungan dengan ilmu fiqih maka langsung dijawab. Tetapi apabila ditanya tentang sesuatu yang berhubungan dengan ilmu hadits maka beliau tidak keluar dari biliknya, bahkan beliau terlebih dahulu mandi, memakai pakaian yang bersih, wangi-wangian serta memakai sorban. Ini semata-mata untuk menghormati atau membesarkan hadits Rasulullah SAW.
Beliau sangat mengagumkan kholifah Umar bin Abdul Aziz dan hidup dalam kecukupan satu hal lagi beliau juga senang menggunakan kemewahan dalam hidupnya.
Pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al Mansur beliau pernah dihina dan disiksa, tentang sebabnya banyak versi ada yang menyatakan karena beliau berfatwa : bahwa tidak syah talaknya orang yang dipaksa, ada lagi yang menyatakan bahwa nikah mut’ah haram hukumnya, yang mana hal ini bertentangan dengan pendapatnya Ibnu Abas. Oleh karena itu orang-orang Absiyah memusuhi Imam Malik.[30]

VI.     KESIMPULAN
1.      Tabi’it Tabi’in adalah orang yang hidup bermushafahah dengan tabi’in, meninggal dalam keadaan beriman kepada Rasulullah dan memeluk Islam.
2.      Rentang masa tabi’it tabi’in dimulai pada tahun 150 H. sampai 220 H.
3.      Tokoh-tokoh hadits yang terkenal pada masa ini adalah Sofyan Tsauri, Waqi’ Ibnu Jarah, Yahya bin Sa’id Qaththan, Malik bin Anas, Sofyan ibnu ‘Uyainah, Tsu’bah bin Hajjaj, Abdurrahman ibnu Mahdi, Al Auza’i, Al Laits dan Asy Syafi’i.
4.      Pada masa tabi’it tabi’in baru dimulai tentang penulisan hadits dalam bentuk musnad dan juga mulai dipisahkan antara hadits sirah dengan hadits tafsir dari hadits umum maupun maghazinya.
5.      Tokoh yang paling masyhur dalam periode tabi’it tabi’in adalah Malik bin Anas dengan kitabnya Al Muwaththa’.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Ahmad bin Muhammad ibnu Hanbal, Al I’lal Wa Ma’rifat Al Rijal, Editor Angkasa, 1933.
2.      Ahmad bin Ali Al Bagdady, Al Kifayah Fi ‘Ilmi Al Riwayah, tahun 1357.
3.      Ahmad Asy Syurbasy, Dr. Al Aimmatul Al Ba’ah, terjemah, Bumi Aksara, Jakarta : 1991.
4.      Al Khotib Al Bagdady, Tarikh Bagdady, Cairo : 1931.
5.      Cyril Glase, Ensiklopedia Islam (ringkas) terjemah, Rajawali Press, Jakarta : 1996.
6.      Hasby Ash Shiddiqy, Tm, Pengantar Ilmu Hadits, Toha Putra, Semarang 1997.
7.      Hasbu Ash Shiddiqy, Sejarah Berkembangnya Hadits, Bulan Bintang, Jakarta : 19970.
8.      Ibnu A’rabi, Ahkam Al Qur’an, Matba’ah Sa’adah, Cairo, 1331 H.
9.      Ibnu Farihun, Addjibaj Al Amdzhab Fi Ma’rifat A’yuni Ulamai Al Madzhab, Mesir 1351 H.
10.  Muhammad ‘Ujaj Al Khatib, Dr. Assunah Qobla Attadwin, Dar Fikr, 1401.
11.  MM Azmi, Prof. Dr. Dirasat Fi Al Hadits Al Nabawi Wa Taraikh Tadwinihi, Bairut : 1400.
12.  Nuruddin, ‘Itr, Dr, Manjah Al Naqd Fi ‘Ulum Al Hadits, Dar Fikr, Damaskus : 1992.
13.  Subhi Shalih, Dr, ‘Ulum Al Hadits Wa Mustalahuh, Dar ‘Ilm Malayin, Beirut : 1977.


[1] Cyril Blasé, Ensiklopedia Islam (Ringkasan), Terj. Rajawali Press, 1996, halaman 391.
[2] Dr. Subhi Sholih, Ulum Al Hadits Wa Mutholahul Hadits, Terj. Pustaka Ridana, Jakarta, halaman 313.
[3] Dr. Nuruddin, Manhaj An Nakd Fi Ulumil Hadits, Darfika Damaskus, 1992, halaman 12.
[4] Ikhtiar Ilmu Hadits.
[5] Dr. Subhi Sholih, Op.Cit., halaman 313.
[6] Dr. Subhi Sholih, Ibid., halaman 314.
[7] Al Khotib Al Bagdadi Ahmad bin Ali, Tarih Bagdadi, Kairo, 1931, halaman 161.
[8] Dr. M.M Azmi, Dirosah Fil Hadits Al Nabawi Wa Tarikh Tadwimihi, Maktab Islam, Bairut, 1980, halaman 321.
[9] Dr. M.M Azmi, Ibid, halaman 325.
[10] Al Illah Wal Ma’rifat Ar Rijal, Editor Angkasa, 1933, halaman 354.
[11] Ahmad bin Muhammad Ibnu Hambal, Al Mizan, halaman 152.
[12] Ahmad bin Ali Al Bahdady, Al Kifayah Fi ‘Ilmi Al Riwayah, tahun 1357, halaman 241.
[13] M.M Azmi, Op. Cit., halaman 416.
[14] Ibit, halaman 80.
[15] Ibid, halaman 502.
[16] Hasybi Asy Syidiqi, Sejarah Perkembangan Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, halaman 180.
[17] Hasybi Asy Syidiqi, Ibid, halaman 178.
[18] Subhi Sholih, Op.Cit., halaman 343.
[19] Tarikh Baghdad
[20] TM. Hasby Ash Shiddiqy, Op.Cit., halaman 176.
[21] TM. Hasybi Asy Syidiqy, Ibid, halaman 178.
[22] TM. Hasybi Asy Syidiqy, Op.Cit., halaman 65.
[23] Dr. Ahmad Asy Syarbasy, Al Aimmatil Al Ba’ah, Terjemahan Bumi Aksara, Jakarta, 1991, halaman 72.
[24] Lebih jelasnya baca Dr. Ahmad Asy Syarbasy, halaman 72-73.
[25] Dr. Muhammad ‘Ijaj Al Khatib, As Sunnah Qobla Tadwin, Dar fikr, 1401 H, halaman 338.
[26] Ibnu Farihun, Ad Dibaj Al Maaddab Fi Ma’rifatil Ayani Ulamail Madzhab, Mesir, 1351 H, halaman 432.
[27] Dr. Subhi Sholeh, Op.Cit., halaman 430.
[28] Dr. Ahmad As Surbasy, Op.Cit., halaman 77.
[29] Ibnu Al Araby, Ahkam Al-Qur’an, Matba’ah Sa’adah, Kairo, 1331, jilid 1, halaman 10.
[30] Tentang sebab-sebabnya disiksa lebih jelasnya baca Al Aimmatul Al Arba’ah, halaman 96-102.

6 komentar:

  1. MANTABZ GAN...........!!!!

    BalasHapus
  2. wuih....ini dia yg ane cari.........
    Kan g' susah2 bwt makalah.........hehehehehe.....
    Thanks Bro........

    BalasHapus
  3. Sangat membantu mas Broo,, Jazakalloh.. tuk tman2 yg butuh makalah gabungan "Thabaqat Sahabat, Tabi' & Tabi' Tabi'in" eMail ke: syahrilshabirin@yahoo.com

    BalasHapus
  4. so good untuk mengetahui hadits pada masa tabi'in...thanks..................:D

    BalasHapus
  5. hasvirah hasyim nur10 Desember 2012 pukul 08.46

    dapat menjadi pembantu referensi..........

    BalasHapus
  6. jadi tabi'in terahir yang meninggal itu siapa?

    BalasHapus