Rabu, 23 Februari 2011

PEMBERDAYAAN PESANTREN AL-ASY’ARIYYAH DALAM MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN ISLAM



PEMBERDAYAAN PESANTREN AL-ASY’ARIYYAH
DALAM MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN ISLAM
DI KALIBEBER

A.    PENDAHULUAN
Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang dianggap sebagai budaya asli Indonesia (Indigeous) serta memiliki akar yang kuat dalam kehidupan masyarakat. Pesantren memiliki konstribusi yang besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, berkiprah dalam pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan dan social masyarakat. Dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina, mendidik, mencerdaskan dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan peranannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Di Indonesia, pesantren tumbuh dengan cepat. Perkembangan ini salah satunya ditandai dengan adanya sikap non-kooperatif para ulama’ terhadap kebijakan “Polotik Etis” pemerintahan colonial Belanda pada akhir abad 19. Sikap non-kooperatif dan silent opposition para ulama’ itu kemudian ditunjukkan dengan mendirikan pesantren yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi pemerintah colonial.[1] Selain itu, berkat dibukanya terusan Suez pada tahun 1986 sehingga memungkinkan para pelajar Indonesia mengikuti pendidikan di Mekah. Sepulangnya ke kampong halaman, mengembangkan pendidikan agama di tanah air dengan mendirikan kelembagaan yang disebut pesantren atau pondok pesantren.[2]
Pesantren sekarang ini, nampaknya perlu dibaca sebagai warisan sekaligus kekayaan kebudayaan-intelektual nusantara.
Di pesantren, tokoh sentralnya sering disebut dengan Kyai, dimana ia adalah seorang cendekiawan sekaligus pembimbing spiritual, berperan sebagai penjaga iman, penghibur dan sekaligus pendekar.[3] Kyai juga sebagai orang tua yang patut diteladani, dan diikuti tindak-tanduknya yang dirujuk oleh para anak didiknya, baik pada kelebihan ilmunya tentang Islam dan tindakannya.[4]
Seorang kyai menjadi komponen penting yang menentukan keberhasilan di pesantren. Keadaan yang semacam ini, mendorong pemimpin mampu menganalisis permasalahan yang dialami umat manusia, baik dalam sector pendidikan, social, ekonomi, politik, kultur maupun aspek-aspek yang lain serta dapan mencari problem solving terhadap permasalahan tersebut. Tidak cukup hanya menguasai dalam bidang keilmuan agama saja, tetapi dituntut juga dapat menguasai ilmu umum dan mempunyai cakrawala luas.[5]
Dinamika dalam lembaga pendidikan Islam yang berkembang saat ini, telah lama diantisipasi oleh KH. Muntaha Al- Hafidz dalam merumuskan lembaga pendidikan Islam yang  lebih responsive bagi masyarakat dan efek globalitas. Hal ini terbukti adanya perkembangan pesantren Al-Asy’ariyyah di kalibeber yang tidak membutuhkan waktu lama dapat berkembang dengan pesatnya. Berbagai langkah telah beliau tempuh dalam merakit suatu lembaga pendidikan Islam di Kalibeber Wonosobo, baik pendidikan Islam yang berstatus non formal mupun pendidikan formal.
Namun, perkembangan ini tidak lepas dari lembaga sentral yaitu Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah yang telah lama dirajut dan didirikan oleh pendahulu KH. Muntaha Al Hafidz yaitu Raden Wijaya (Muntaha Awal). Al-Asy’ariyyah yang pada awalnya merupakan sebuah padepokan santri dengan pengajaran keilmuan agama saja, dikembangkan oleh KH. Muntaha Al-Hafidz menjadi suatu pondok pesantren yang mempunyai cirri khusus dan dapat memadukan antara keilmmuan agama dengan keilmuan umum.

B.     SEJARAH PONDOK PESANTREN AL-ASY’ARIYYAH
Pada tahun 1832, seorang pengawal Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Hadiwijaya[6] berhasil meloloskan diri dari kejaran tentara Belanda di Magelang dan melarikan diri ke Kalibeber Wonosobo. Saat itu Kalibeber masih menjadi Kawedanan Garung. Atas usul Mbah Glondong Jogomenggolo, raden Wijaya mendirikan masjid dan padepokan santri di dusun Karangsari/Ngebrak Kalibeber, Mojotengah, Wonosobo yang berada di pinggiran kali prupuk. Padepokan inilah yang menjadi cikal bakal pondok pesantren Al-Asy’ariyyah.
R. Hadiwijaya memimpin padepokan selama 28 tahun, dan dipanggil ke rahmatullah pada tahun 1960. Kepemimpinan pondok pesantren kemudian dilanjutkan oleh puranya KH. Abdurrahim.[7] Selama 56 tahun memimpin pesantren dan pada tanggal 3 syawal 1337 H atau 1916 M beliau wafat kemudian dimakamkan di bekas padepokan Karangsari Ngebrak Kalibeber.[8] Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh putranya yaitu KH. Asy’ari.[9] Beliau memimpin pesantren mulai tahun 1917 sampai dengan 1949.




Pada period eke IV, Kepemimpinan diteruskan oleh KH. Muntaha Al-Hafidz. Selama dalam kepemimpinan beliau, al-asy’ariyyh mencapai kejayaan dan perkembangan yang pesat baik dari jumlah santrinya dan pengembangan kelembagaan lain. Beliau juga adalah pendiri Yayasan Al-Asy’ariyyah dan pendiri IIQ (yang sekarang berubah menjadi UNSIQ) sekaligus sebagai rektornya.[10] KH. Muntaha dipanggil ke rahmatullah dalam usia 94 tahu, atau tepatnya pada tanggal 29 desember 2004[11] setelah memimpin Al-Asy’ariyyah selama 55 tahun. Kepemimpinan Al-Asy’ariyyah selanjutnya diamanahkan kepada putra beliau yaitu KH. Ahmad Faqih Muntaha sampai dengan sekarang.

C.    PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI PESANTREN AL-ASY’RIYYAH
Pelajaran utama dalam pondok pesantren adalah Al-Qur’an. Namun dalam perkembangan selanjutnya, pondok-pondok pesantren pun mulai diajarkan kitab-kitab yang dibawa leh para ulama dari mekah. Pelajaran seperti akhlak, fikih, tajwid, ushul fiqih pun mulai diajarkan di pesantren.
Pada awalnya, pondok ini merupakan padepokan santri yang terletak di pinggir kali prupuk, dusun Ngebrak/Karangsari, Kalibeber, Mojotengah, Wonosobo. Di tempat itu diajarkan ilmu baca tulis Al-Qur’an, fiqih dan tauhid. Padepokan ini merupakan pesantren pertama di Kalibeber sebagai tempat pesemaian ilmu agama, sehingga arus santri yang mondok semakin banyak tanpa memerlukan waktu lama. Karena semakin banyak orang-orang yang nyantri dan padepokan terkena luapan banjir kali prupuk, maka padepokan dipindah ke dukuh kauman Kalibeber (Al-Asy’ariyyah sekarang ini).
System pembelajarannya masih menggunakan pola non klasikal, dimana seorang kyai masih menjadikan satu bagi semua santri baik yang tua maupun yang mua dalam sebuah pengajian. Pengajian masih menggunakan system wetonan dan sorogan.
Pada periode selanjutnya, tepatnya saat kepemimpinan pesantren dipegang oleh KH. Muntaha Al-Hafidz, pondok pesantren Al-Asy’ariyyah mulai dikembangkan dalam berbagai aspek. Berbagai langkah inovatif beliau lakukan untuk memajukannya yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Untuk lebih menigkatkan mutu dan pengembangan pendidikan di pesantren, dikembangkan konsep-konsep modernisasi[12] dengan berpedoman pada kaidah ushul : “Al muhafadzatu ‘ala al qaddimi al shalih wa al ahdzu bi al jaded al ashlah”, yaitu melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.[13]
Langkah awal pengembangan pesantren dikhususkan pada pengkajian dan hafalan Al-Qur’an masih dipertahankan bahkan lebih dikembangkan lagi. Pengkajian keilmuan materi ke-Al-Qur’an-an ditingkatkan dalam berbagai hal. Yaitu : tahfidzul Qur’an, ilmu Tajwid, ilmu Qira’ah, tafsir Qur’an dan ulumul Qur’an lainnya. Dalam kajian kitab-kitab kuning, didirikan kelembagaan madrasah diniyyah wustho untuk santri SMP, madrasah diniyyah ‘Ulya untuk santri SMA/SMK, madrasah Ma’had ‘Ali untuk santri mahasiswa dan Tahfidz, serta madrasah salafiyah untuk santri yang tidak menempuh pendidikan formal. Adapun materi kajian madrasah diniyah ini antara lain : ilmu tauhid, nahwu, shorof, fiqih, akhlaq, hadits dan bahasa arab.
Dalam pengembangan bakat dan keterampilan santri dibentuk wadah atau organisasi bagi para santri. Diantaranya adalah KODASA (Korp Dakwah Santri Al-Asy’ariyyah). Kodasa merupakan lembaga khusus pengembangan bakat dan keterampilan santri. Program lembaga ini dintaranya : seni baca al-qur’an (qira’ah), Sholawat, Kaligrafi, pidato 4 bahasa (Arab, Inggris, Jawa dan bahasa Indonesia). Selain itu terdapat organisasi khusus mahasiswa yang disebut DMPA (Dewan Mahasiswa Pondok Pesantren Al-Asy’ariyyah). Organisasi ini sebagai wadah para mahasiswa serta para sarjana yang berdomisili di pondok pesantren al-asy’ariyyah. Disamping itu juga sebagai wadah aktivitas dan kreativitas untuk mengembangkan bakat, misalnya dalam bidang jurnalistik diterbitkan bulletin Royhanuna, Madding Haromain dan Majalah Multazam.
Selain pengembangan pendidikan Islam bagi para santri juga didirikan majelis ta’lim yang diperuntukkan masyarakat kalibeber. Pengajian dilaksanakan setelah ba’da shubuh bagi para jam’iyyah sholat subuh serta pada setiap hari senin dan kamis bagi ibu-ibu masyarakat kalibeber.

D.    MANAJEMEN PONDOK PESANTREN
Pondok pesantren ibarat  sebuah kerajaan kecil, dimana Kyai bertindak sebagai seorang raja, nyai sebagai permaisurinya dan santri sebagai bawahan dan rakyatnya. Berbagai kebijakan dan hal-hal yang berkaitan dengan pengembangan pesantren dipegang penuh oleh seorang Kyai, baik pada pengangkatan kepengurusan pesantren sampai pada tahapan manajemen.
Dalam kepemimpinan KH. Mutaha Alh. Berbagai perubahan juga diberlakukan. Penataan dan pengukuhan manajemen pondok pesantren mulai ditingkatkan.
Dalampengukuhan pondok pesanren, maka dibentuklah yayasan ASWAJA Baiturrahim. Yayasan ini sebagai naungan dari berbagai lembaga-lembaga pendidikan baik yang formal maupun non formal. Sekarang ini, yayasan dirubah dengan nama yayasan Al-Asy’ariyyah dengan akte notaries nomor 78 tanggal 27 Februari 1989.
Pesantren ditertibkan dengan system klasikal, yaitu sntri diasramakan sesuai dengan jenjang dan tingkataannya masing-masing. Dalam sebuah asrama terdapat Pembina asrama yang bertugas sebagai pembimbing sekaligus sebagai pengajar serta berfungsi sebagai pengganti orang tua. Sehingga dengan kondisi seperti ini, masing-masing santri mudah diatur dan diarahkan. Perkembangan pendidikan santri pun dapat disamakan dengan teman sebayanya.
System kurikulumnyapun mulai dilembagakan menurut tingkatan dan faknya. Seperti madrasah diniyyah wustho, madrash diniyyah Ulya, madrsah diniyyah ma’had ali dan madrasah diniyyah salafiyah. Dengan system belajar yang dilembagakan berupa madrasah diniyyah ini, diharapkan lebih mempermudah pengajaran sesuai dengan jenjang dan tingkatan pendidikan santri.
Di bawah seorang pengasuh, dibentuk kepengurusan yang menangani hal-hal yang berkaitan dengan berjalannya pondok pesantren. Seperti administrasi, pendidikan dan pengembangan lainnya yang berkaitan dengan santri.pengurus diberikan otoritas dalam menjalankan peraturan-peraturan pesantren dan kebijakan dari seorang pengasuh.

E.     KONSTRIBUSI PONDOK PESANTREN
Pengembangan yang terlihat di lingkungan pesantren al-asy’ariyyah sekarang ini, ternyata telah memberikan perubahan yang signifikan baik bagi pesantren itu sendiri dan bagi masyarakat sekitar. Konstribusi pondok pesantren al-asy’ariyyah dapat dilihat dari hal-hal di bawah ini.
1.      Dalam lingkungn pesantren telah terjadi modernisasi pesantren, yaitu dengan diterapkan system pendidikan yang memadukan pendidikan pesantren dengan pendidikan formal seperti penataan asrama yang ditentukan berdasarkan jenjang pendidikan, pembentukan lembaga madrasah di pesantren, membuat wadah pengembangan bakat santri, dan lain sebagainya.
2.      Berdirinya berbagai kelembagaan pendidikan Islam di lingkungan Kalibeber yang didirikan oleh KH. Muntaha Alh. Antara lain : TK Hj. Maryam Kalibeber, MI Ma’arif Kalibeber, MTs Ma’arif Kalibeber (menjadi MTs Negri Kalibeber), MA Ma’arif Kalibeber (menjadi MAN Kalibeber), IIQ (yang kemudian menjadi UNSIQ), SD-SMP-SMA dan SMK Takhassus Al-Qur’an.
3.      Semakin banyaknya minat orang tua yang ingin memasukkan anak-anaknya di pesantren Al-Asy’ariyyah. Hal ini terlihat dengan banyaknya santri dari berbagai jenjang pendidikan.
4.      Al-Asy’ariyyah yang merupakan pondok pesantren Al-Qur’an telah memunculkan para penghafal al-qur’an yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia.
5.      AL-Asy’ariyyah sekaligus Kalibeber merupakan daerah tempat ditulisnya Al-Qur’an akbar hasil gagasan KH. Muntaha Alh. Kemudian dapat dikenal oleh seluruh masyarakat Nusantara.
6.      Kemajuan pendidikan Islam di Kalibeber. Hal ini dapat terlihat dengan banyaknya didirikan lembaga pendidikan Al-Qur’an (TPQ) bagi anak-anak dan banyaknya majelis ta’lim dan pengajian yang dilakukan di berbagai masjid.

F.     PENUTUP
Pndok pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia yang harus dipertahankan dan dijaga sebagai sebuah warisan budaya intelektual asli di Indonesia. Pesantren juga sebagai salah satu benteng pendidikan Islam yang dapat mengolah dan mendidik putra-putri bangsa menjadi generasi yang berakhlak mulia dan berpendidikan agama yang kokoh. Maka harus diolah dan ditingkatkan dengan sebaik-baiknya.
Hal yang perlu bagi penerus suatu pondok pesantren adalah mengembangkan dan melestarikannya. Dengan mengambil kaidah ushul “melestarikan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Sehingga diharapkan pesantren tidak statis terhadap perkembangan zaman yang semakin cepat. Namun tidak meninggalkan berbagai tradisi pesantren yang sejak lama sudah diunggulkan.
Begitu juga bagi pondok pesantren al-asy’ariyyah, perkembangan pesat yang sekarang ini telah terjadi di berbagai aspek, harus segera dijaga dan dilestarikan bahkan perlu ditingkatkan kembali menjadi pesantren yang lebih maju dan concern terhadap perkembangan zaman. Namun dari pada itu, pelestarian tradisi pesantren perlu diperhatikan bahkan jangan ditinggalkan.


[1] Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Terj. Hasan Basri) Pustaka, Jakarta, 1994
[2] Mastuki HS, Akselerasi Wajar Diknas Melalui Pesantren, Makalah disampaikan dalam acara Orientasi Pengembangan Manajemen dan Program Wajar Diknas PP Salafiyah, di PUSGAFRIN Srengseng Sawah, 2003.
[3] Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1967,  Lkis, Yogyakarta, 2007, hal. 23.
[4] Departemen Agama RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, Ditpekapontren Ditjen Kelembagaan Agama Islam, 2003. Hal : 16.
[5] Miftahul Haris, Skripsi Strategi Dakwah KH. Muntaha Al-Hafidz dalam Pengembangan Islam di Indonesia, UNSIQ, Wonosobo, 2004.
[6] Setelah menetap di Kalibeber, Wonosobo Beliau dikenal dengan nama KH. Muntaha bin Nida’ Muhammad atau KH. Muntaha Awal. Adapun silsilah dari beliau adalah putra dari R. Ayu Puspowijoyo binti R. Ayu Muhammad Shalih binti R.M. Sandiyo BP Ngabei K. Muhammad Ikhsan atau K. Nur Iman Mlangi bin Hamangkurat IV (R.M. Suryo Putra atau Syeikh Syamsudin atau Kiai Wongso Taruno dengan istri R. Rr. Irawati binti Untung Suropati). Lihat Elis S. & Samsul Munir, Biografi KH. Muntaha Al-Hafidz Ulama Multidimensi, UNSIQ, 2004. Hal : 16.
[7] Beliau dikenal sebagai seorang yang pandai menulis Al-Qur’an dengan tangan. Ketika perjalanan haji ke Mekah, beliau menulis Al-Qur’an dan saat kembali haji, telah menyelesaikan penulisan Al-Qur’an tersebut. Hal ini yang kemudian menjadi inspirasi KH. Muntaha Al-Hafidz untuk mencetuskan karya yang sangat monumental, yaitu penulisan Al-Qur’an Akbar (Al-Quran Terbesar di Dunia).
[8] Nasokah, TESIS Peran Kepemimpinan Kharismatik Dalam Pengembangan Institusi-institusi Pendidikan Islam (Studi Kasus Terhadap Leadership KH. Muntaha Al-Hafidz), Tesis IAIN Walisongo, Semarang, 2004. Hal : 55
[9] Seorang pejuang kemerdekaan dalam melawan penjajahan Belanda pada saat agresi militer Belanda ke II. Ketika Belanda sampai di Kalibeber, beliau melarikan diri ke desa Nderoduwur (ke barat 8 KM dari kalibeber) karena pondok pesantren di serang oleh Belanda, bahkan tulisan Al-Qur’an karya KH. Abdurrahim ikut dibakar. Dalam pengungsiannya beliau sedang sakit keras dan akhirnya wafat di Nderoduwur yang kemudian dimakamkan disana. Baca Muchotob Hamzah, Perkembangan Pesantren Al-Asy’ariyyahdan Istitut Ilmu Al-Qur’an Jawa Tengah di Wonosobo, IIQ Jawa Tengah, Wonosobo, 1991. Hal : 11.
[10] KH. Muntaha Al-Hafidz menjabat rector IIQ tahun 1988 sampai tahun 2001. Dan selanjutnya rector dijabat oleh DR. H. Zamakhsyari Dhofier, MA.
[11] M. Nurkholis, Makalah Pemikiran KH. Muntaha Alh dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Kalibeber Wonosobo, 2008. Hal : 5
[12] Pengertian Modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan situasi baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern. Lihat Drs. A. Shamad Hamid, Islam dan Pembaharuan, PT. Bina Ilmu, Surabaya. !984. hal. 12
[13] Nasuka, Op.it. hal : 111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar