Kamis, 03 Februari 2011

ANALISIS HADITS THOLABUL ‘ILMI

ANALISIS HADITS THOLABUL ‘ILMI
Oleh : Safrudin, S.Sos.I

I.              PENDAHULUAN
Hadits dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayt al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44.
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ
Artinya : Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka[1] dan supaya mereka memikirkan.[2]

Hadits merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits sebagai sumber ajaran.
Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan sebagai sumber ajaran agama.
Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif.
Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena itu, haruslah terpenuhi syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut.
Sudah menjadi Sunatullah  setiap mahluk hidup tak terkecuali manusia pasti mengalami perkembangan, yang mencakup seluruh bagian dirinya baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani.[3] Dapat dikatakan bahwa perkembangan merupakan istilah yang menunjukan pertumbuhan yang lebih maju­­­­­- aspek jasmani dan rohani, karena pada dasarnya manusia mempunyai kecendrungan yang bersifat dinamis yang menuntut manusia untuk selalu ingin tahu dan lebih maju.
Islam sebagai agama fitrah sangat memperhatikan masalah kewajiban mencari ilmu, karenanya, mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu manusi (fardlu ‘ain) hal ini selaras dengan tujuan penciptaan manusia (khalifah fi al-ard) sehingga keharusan mencari ilmu yang bertujuan agar mempunyai ilmu adalah sesuatu yang mutlak.
Sebagian golongan ada yang masih mempermasalahkan (khilaf) dalam hal ilmu apa saja yang wajib di tuntut  terlebih dulu karena pada dasarnya tidak mungkin dengan keterbatasanya manusia mampu mempelajari semua ilmu yang ada walaupun kewajiban mencari ilmu tersebtut tidak berhenti pada masa remaja saja tetapi sepanjang manusia belum menemui khaliqnya.
Sebagian lagi masih ada yang memberikan perbedaan dalam hal gender yaitu misalnya hanya laki-laki yang wajib (dianjurkan) menuntut ilmu sementara mengkultuskan kaum perempuan sebagai golongan yang lemah sehingga tidak diwajibkan (dianjurkan) untuk menuntut ilmu padahal hal ini telah keluar dari esensi fitrah manusia karena taklif syariat islam tidak membedakan antara keduanya.
Hadis dengan redaksi thalab al-‘ilmi faridhah dapat dijumpai di kitab hadis sebagai berikut:
1.      Sunan Ibn Majah (juz 1: 260)
2.      Mu’jam al-Kabir li al-Tabrani (9: 42)
3.      Mu’jam al-Ausath li al-Tabrani (1: 12, 5: 41, 5:64, 6:13, 9: 299, 13: 148, 18: 384, 19: 162) 9 kali
4.      Mu’jam al-Shaghir li al-Tabarni (1:25, 1:64)
5.      Syu’ab al-Iman li al-Baihaqi (4:174, 175, 176, 177, 178)
6.      Musnad Abi Ya’la al-Mushili (6: 384, 6: 448, 9:61)
7.      Ma’rifat Shahabt li Abi Nu’aim al-Ashbahani (24:369)
8.      Musnad al-Syamiyyin li al-Tabrani (1: 235, 9: 306)
9.      Musnad Syihab al-Qudha’I (1: 278, 1:279, 1:280)
Namun dalam makalah ini kami hanya mengkaji 2 (dua) jalur, yakni jalur Ibnu Majah yang diriwayatkan Anas bin Malik dan jalur Al-Thabrani yang diriwayatkan leh Abdullah bin Mas’ud. Sebagai sumber utama dalam pembahasan ini menggunakan Software CD, Al-Kutub At-tis’ah [4] dan Maktabah Syamilah.
                                                       
II.           PEMBAHASAN
1.      Teks Hadits dan Terjemahannya
a.      Jalur Ibnu Majjah
حَدَّثـَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّّثـَنَا حَفـْصُ بْنُ سُلـَيْمَانَ حَدَّثـَنَا كـَثِيْرُ بْنُ شِنـْظِيْرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ شِيْرِيْنَ عَنْ أنَسِ بْنِ مَالِكٍ قـَالَ : قـَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلـَيْهِ وَسَلـَّمَ طـَلـَبُ الـْعِلـْمِ فـَرِيْضـَة ٌ عَلـَى كـُلِّ مُسْلِمٍ وَ وَاضَعُ الـْعِلـْمِ عِنـْدَ غـَيْرِ أهْلِهِ كـَمُقـَلـِّدِ الـْخَنـَازِيْرِ الـْجَوْهَرَ وَاللـُّؤْلـُؤَ وَالذ َّهَبَ  ( رواه إبن ماجة )[5]

Artinya :  Hisyam bin ‘Ammar menceritakan kepada kami, Hafs bin Sulaiman menceritakan kepada kami, Katsir bin Syindzir menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Syirin, dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah SAW. bersabda : Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim, dan orang yang meletakkan ilmu pada selain ahlinya bagaikan menggantungkan permata mutiara dan emas pada babi hutan”. (HR. Ibnu Majjah).

b.      Jalur Al-Thabrani
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بن يَحْيَى بن الْمُنْذِرِ الْقَزَّازُ، وَالْحُسَيْنُ بن إِسْحَاقَ التُّسْتَرِيُّ، قَالا: حَدَّثَنَا الْهُذَيْلُ بن إِبْرَاهِيمَ الْحِمَّانِيُّ، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بن عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقُرَشِيُّ، عَنْ حَمَّادِ بن أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ أَبِي وَائِلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مَسْعُودٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ. (رواه الطبراني)[6]

Artinya : Muhammad bin Yahya bin Mundzir Al-Qazzaz dan Husain bin Ishaq berkata, Hudail bin Ibrahim Al-Himmany menceritakan kepada kami, Utsman bin Abdurrahman Al-Qurasyi menceritakan kepada kami, dari Hammad bin Abi Sulaiman, dari Abi Wail, Dari Abdillah bin Mas’ud berkata, Rasulullah SAW. bersabda : Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. (HR. Thobroni).



2.      Skema Jalur Sanad




3.      Kualitas Hadits
Untuk menentukan kualitas sebuah hadits, para ulama hadits mengemukakan 5 (lima) kriteria keshahihan hadits, yaitu :
-          Diriwayatkan oleh perawi yang adil.
-          Kedhabitan perawinya sempurna.
-          Sanadnya bersambung.
-          Tidak ada cacat atau illat.
-          Matannya tidak syaz atau janggal.

a.      Penelitian Sanad
Langkah awal dalam meneliti keshahihan hadis adalah melakukan penelitian sanad. Ulama hadits menilai bahwa kedudukan sanad hadits sangat penting dalam riwayat hadits. Sebagai konsekuensi dari pendapat tersebut, maka suatu hadits yang tidak memiliki sanad, oleh ulama hadits tidak biasa di sebut hadits.
Untuk meneliti kualitas sanad (bersambungnya sanad, keadilan dan kedhabitan periwayat) perlu disajikan biografi singkat para periwayat dan penilaian derajat hadits terhadap para periwayat. Para periwayat hadits di atas adalah :
·         Riwayat Ibnu Majjah
1)      Anas bin Malik[7]
Nama lengkapnya adalah Anas bin Malik bin Nadzir bin Dlo’dlom bi Zaid bin Haram dan memiliki nama panggilan (kuniyah) Abu Hamzah.
Beliau termasuk salah seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, Ia lahir di Makkah, berdomisili di Basrah dan meninggal di kota itu pula (Basrah pada tahun 91 H.
Berdasarkan kaidah umum dalam ilmu hadis, al-shahabah kulluhum ‘udul,[8] maka dia dimasukkan ke dalamnya yang berarti keadilan dan kedhabit-annya dapat diterima.
Guru beliau adalah : Ubayya bin Ka’ab (Abu Mundzir), Usaid bin Hudlair bin Samak bin ‘Atik (Abu Yahya), Umu Haram binti Mulhan bin Kholid bin Zaid bin Haram (Umu Haram), Tsabit bin Qois bin Syamas (Abu Abdurrohman), Jabir bin Abdullah bin ‘Amru bin Haram (Abu Abdullah), Jundub bin Janadah (Abu Dzar), Al-Harits bin Robi’iy (Abu Qatadah), Romlah binti Abi Sofyan (Umu Habibah), Zaid bin Arqom bin Zaid (Abu ‘Amru), Zaid bin Tsabit bin Dlohak (Abu Sa’id), Zaid bin Sahal bin Aswad (Abu Tolhah), Sa’id bin Malik bin Sinan bin ‘Ubaid (Abu Sa’id), Salman bin Al-Islam (Abu Abdullah), Sahlah binti Mulhan bin Kholid (Umu Sulaim), ‘Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq (Umu Abdullah), ‘Ubadah bin Shomit bin Qois (Abu Al-Wahid), Abdurrahman bin Shoghir (Abu Hurairah), Abdurrahman bin ‘Auf (Abu Muhammad), Abdullah bin ‘Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim (Abu Abbas), Abdullah bin ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amru bin Ka’ab (Abu Bakar), Abdullah bin Qois bin Sulaim bin Hadlor (Abu Musa), Abdullah bin Mas’ud (Abu Abdurrohman), ‘Atban bin Malik, ‘Utsman bin ‘Affan bin Abi Al-‘Ash (Abu ‘Amru), ‘Umar bin Khattab bin Nufail (Abu Hafs), Lubabah binti Harits bin Hazn (Umu Fadhol), Malik bin Rabi’ah (Abu Usaid), Malik bin Sho’sho’ah bin Wahab, Mahmud bin Dubair bin Suraqah (Abu Muhammad), Mu’adz bin Jabal bin ‘Amru bin Aus dan Fathimah binti Rasulullah SAW.
Sedangkan murid-murid beliau antara lain adalah : Abban bin Abi Iyas Fairuzi (Abu Isma’il), Abban bin Sholih bin Umair bin Ubaid (Abu Bakar), Abban bin Yazid (Abu Yazid), Ibrahim bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abi Rabi’ah (Abu Muhammad), Ibrahim bin Ubaid bin Rifa’ah bin Rafi’, Ibrahim bin Maisaroh, Abu Idris, Abu Asma’, Abu Al-Abyadl, Abu Bakar bin Anas bin Malik, Abu Bakarbin Ubaidillah bin Anas bin Malik, Abu Bakar bin Muhammad bin Amru bin Hazm, Abu Bakarbin Nadlr bin Anas, Abu Sa’id, Abu Tholut, Abu Tholhah, Abu Ma’qil dari Anas, Abu Ma’an dari Anas,  Azhar bin Rasyid, Ishaq bin Abdullah bin Abi Tolhah Zaid bin Sahl, As’ad bin Sahl bin Hanif (Abu Umamah), Isma’il bin Abdurrahman bin Abi Karimah, Isma’il bin Ubaidillah bin Abi Muhajir, Isma’il bin Abi Muhammad bin Sa’id bin Abi Waqqosh, Asy’ats bin Abdillah bin Jabir, Anas bin Sirin (Abu Musa), Uwais bin Abi Uwais, Budailbin Maisaroh, Buraid bin Abi Maryam Malik, Bisyri dari Anas,  Basyir bin Yasar,  Bakar bin Abdullah, Bukair bin Akhmas, Bukair bin Wahab, Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa, Bilal bin Murdas,Bayan bin Basyir (Abu Basyar), Taubah (Abu Shodaqoh), Taubah bin Abi As’ad Kaisan (Abu Muna), Tsabit bin Aslam, Tsamamah (Abu ‘Ishom), Tsamamah binAbdullah bin Anas bin Malik, Al Jarud bin Abi Sibroh Salim bin Salamah (Abu NAufal), Ja’ad bin Dinar (Abu Utsman), Ja’far bin Abdullah bin Hakam, Ja’far bin AMru bin Umayyah, Al-Harits bin Nu’man bin Salim, Hazm bin Atho’ (Abu Kholaf), Habib bin Abi Tsabit Qois bin Dinar, Habib bin Abi Habib, Hazur (Abu Gholib), Al-Hasan bin Abi Al-Hasan Yasar, Hadlromi bin AL-Haq, Hafs Ibnu Akhi Anas bin Malik, Hafs bin Ubaidillah bi Anas bin Malik, Hafshoh binti Sirin (Umu Hudzail), Hamad bin Abi Sulaiman Muslim, Hamad bin Salamah bin Dinar, Hamzah bin Amru, Humaid bin Abi Humaid, Humaid bin HIlal bin Hubairoh, Handzolah bin Ubaidillah, Kholid bin Dinar, Kholid bin Ubaid, Kholid bin Faroz, Kholaf bin Mahron, Khoitsamah bin Abi Khoitsamah, Rosyid bin Sa’id, Rosyid bin Kisan (Abu fazarah), Ruba’iy bin Anas, Rabi’ah bin Abi Abdurrahman Farukh, Raziq, Zubair bin ‘Adi, Zubair bin Abdullah, Ziad bin Abi Ziad Maisaroh, Ziad bin Abdullah, Zaid bin Aslam, Zaid bin Hawariy, Zainab binti Nubath, Salim bin Abi Ja’ad Waqi’, Sa’ad bin Ishaq bin ka’ab bin Ujrah, Sa’ad bin Sa’id, Sa’ad bin Sinan, Sa’ad bin Thoriq bin Asyim (Abu MAlik), Sa’ad bin Mu’Qil bin Yasar, Sa’ad bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa, Sa’id bin Abi Sa’id Kisan, Sa’id bin Abi Hilal, Sa’id bin Jubair bin Hisyam, Sa’id bin Kholid bin Abi Thowil, Sa’id bin Abdurrohman bin Yazid bin Ruqois, Sa’id bin Marzaban, Sa’id bin Musib bin Hazn bin Abi Wahab bin Amru, Sa’id bin Yazid bin Salamah, Salim bin Qois, Salman Maula Abi Qilabah, Salamah bin Wirdan, Sulaiman bin Abi Sulaiman, Sulaiman bin Mahron, Sinan bin Robi’ah, Sahal bin Abi Umamah As’ad bin Sahal bin Hunaif, Syu’aib bin Hijab, Dlohak bin Mazahim, Tholhah bin Nafi’, “ashim bin Sulaiman, Amir bin Syurohil, Amir bin Abdullah bin Zubair bin Awam, Ibad bin Abi Ali, Abdul Humaid bin Dinar, Abdul Humaid bin Mahmud, Abdurrohman bin Abi Laila Yasar, Abdurrohman bin Abdullah, Abdurrohman bin Yazid bin Jariyyah, Abdul Aziz bin Rofi’, Abdul Aziz bin Suhaib, Abdullah bin Abu Bakar bin Muhammad bin Umar Hazm, Abdullah bin Harits, Abdullah bin Dinar Maula Ibnu Umar, Abdullah bin Abdurrohman bin Abi Hasan, Abdullah bin Abdullah bin Jubair bin Atik, Abdullah bin Abdullah bin Abu Tolhah, Abdul Malik bin ‘Alaq, Ubaidillah bin Abu Bakar bin Anas bin Malik, Usman bin Abdurrohman bin Utsman bin Abdullah, Muhammad bin Syirrin (Abu Bakar), Atho’ bin Abi Muslim, Atho’ bin Abi Maimunah Muni’, Atho’ bin Saib bin Malik, Uqbah bin Wasaj bin Hasan, Ala’ bin Zaid, Imron bin Muslim dan Amru ibnu Abi Amru Maisaroh Maula Muthollib bin Khottob.
2)      Muhammad bin Sirrin[9]
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Syirin Maula Anas bin Malik. Memiliki kuniyah (panggilan) Abu Bakar. Beliau termasuk golongan tabi’ien tengah yang tinggal dan wafat di bashrah pada tahun 110 H.
Penilaian kritikus hadis terhadapnya dapat dilihat sebagaimana yang disampaikan oleh Ahamd bin Hanbal  yang mengatakan bahwa ia adalah tsiqah (orang yang terpercaya),[10] Yahya bin Ma’in  menilainya tsiqah. Muhammad bin Sa’ad menilainya siqah ma’mun (terpercaya lagi kokoh). Adapun al-Ijli menilainya siqât.
Sebagian guru Muhammad bin Syirrin adalah : Ibnu Ala’ bin Al-Hadlromy, Abu Ubaidah bin Hudzaifah bin Al-Yaman, Anas bin Malik Bin Nadlr bin Dlo’dlom bin Zaid bin Harom, Jundub bin Abdullah bin Sufyan Al-Harits bin Robi’I (Abu Qotadah), Hudzaifah bin AL-Yaman (Abu Abdullah), Al-Hasan bin Ali bin Abi Thollib (Abu Muhammad) dan Hafshoh binti Sirrin (Umu Hudzail).
Sedangkan murid-murid beliau diantaranya adalah : Abu Amru bin Ala’ bin ‘Ammar bin ‘Uryan, Abu Ma’an dari Anas, Asma’ bin Ubaid bin Mukhoriq (Abu Mufaddol), Hisyam bin Yahya bin Dinar, Yahya bin Sa’id bin Qois (Abu Sa’id), Katsir bin Syindzir (Abu Qurroh), Salim bin Dinar, Salamah bin ‘Alqomah (Abu Basyar), Sulamy bin Abdullah bin Sulamy dan Abdurrohman bin Amru bin Abi Amru.
3)      Katsir bin Syindzir[11]
Nama lengkapnya adalah Katsir bin Syindzir (Abul Qurrah). Beliau tinggal di Bashrah. Beliau tidak pernah bertemu dengan sahabat.
Penilaian ulama tentang Katsir dapat dilihat dari perkataan Ahmad bin Hanbal yang menyatakan shalih al-Hadis (hadisnya baik), Yahya bin Ma’in mengatakan shalih (orang shalih), Muhammad bin Sa’ad menyatakan tsiqah (terpercaya).
Guru-guru beliau adalah : Al-Hasan bin Abi Al-Hasan Yasar (Abu Sa’id), Muhammad bin Sirrin Maula Anas Bin Malik (Abu Bakar) dan Atho’ bin Abi Robah Aslam (Abu Muhammad).
Sedangkan murid-murid beliau antara lain adalah : Hafs bin Siman (Abu Umar), Hamad bin Zaid bin Dirham (Abu Isma’il), Abdul Warits bin Sa’id bin Dakwan (Abu Ubaidah), Sholih bin Rustam (Abu Amir) dan Sa’id bin Abi Arubah Mahron (Abu Al-Nadlr).



4)      Hafs bin Sulaiman[12]
Beliau memiliki kuniyah Abu ‘Amr dan hafish. Tinggal di Kufah dan meninggal pada tahun 180 H.
Guru beliau adalah : Samak in HArb bin Aus (Abu Mughiroh), Katsir bin Syindzir (Abu Qurroh) dan Katsir bin Zadzan.
Sedangkan murid-murid beliau antara lain : Isma’il bin Ibrahim bin Basam (Abu Ibrahim), Ali bin Hajar bin Iyas (Abu Hasan), Muhammad bin Bakar bin Royan (Abu Abdullah), Amru bin Utsman bin Sayyar (Abu Umar), Muhammad bin Harb, dan Hisyam bin Ammar bin Numair bin Maisaroh bin Abban (Abu Al-Walid).
5)      Hisyam bin ‘Ammar[13]
Nama lengkapnya ialah Hisyam bin ‘Ammar bin Nashir bin Maisarah bin Abban (Abul Walid). Tinggal di Syam dan meninggal di Dujail pada tahun 240 H.
Guru-guru baliau antara lain : Ibrahim bin A’yan, Isma’il bin Iyas bin Salim, Anas bin Iyadl bin Dlomroh, Hafs bin Umar, Hafs bin Sulaiman (Abu Muhammad), Al-Hakam bin Hisyam bin Abdurrohman (Abu Muhammad) dan Robi’ bin Badar bin Amru (Abu Ala’).
Sedangkan murid beliau adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim (Abu Abdullah) yang dikenal dengan Ibnu Majjah.
6)      Ibnu Majjah
Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi'i al-Qarwini, pengarang kitab As-Sunan. Kata "Majah" dalam nama beliau adalah dengan huruf "ha" yang dibaca sukun; inilah pendapat yang sahih yang dipakai oleh mayoritas ulama, bukan dengan "ta" (majat) sebagaimana pendapat sementara orang. Kata itu adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya.[14]
Imam Ibn Majah dilahirkan di Qaswin pada tahun 209 H, dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar. Sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya, Abu Bakar dan Abdullah serta putranya, Abdullah. Ia berkembang dan meningkat dewasa sebagai orang yang cinta mempelajari ilmu dan pengetahuan, teristimewa mengenai hadits dan periwayatannya. Untuk mencapai usahanya dalam mencari dan mengumpulkan hadits, ia telah melakukan lawatan dan berkeliling di beberapa negeri. Ia melawat ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah dan negara-negara serta kota-kota lainnya, untuk menemui dan berguru hadits kepada ulama-ulama hadits. Juga ia belajar kepada murid-murid Malik dan al-Lais, rahimahullah, sehingga ia menjadi salah seorang imam terkemuka pada masanya di dalam bidang ilmu nabawi yang mulia ini.
Aktivitas Periwayatannya Ia belajar dan meriwayatkan hadits dari Abu Bakar bin Abi Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Numair, Hisyam bin 'Ammar, Muhammad bin Ramh, Ahmad bin al-Azhar, Bisyr bin Adan dan ulama-ulama besar lain.
Sedangkan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Muhammad bin 'Isa al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibn Sibawaih, Ishak bin Muhammad dan ulama-ulama lainnya.



·         Riwayat Al-Thabrani
1)      Abdullah bin Mas’ud (w. 91 H.)
2)      Abi Al-Wail (w. 117 H.)
3)      Hammad (w. 120 H.)
4)      Utsman bin Abdurrahman (w.   H.)
5)      Al-Hudzail (w.   H.)
6)      Muhammad bin Yahya (w.   H.)
7)      Al-Husain bin Ishaq (w.   H.)
8)      Al-Thabrani
b.      Penelitian Matan
Secara etimologi, matan berarti punggung jalan, tanah yang keras dan tinggi. Sedangkan secara terminologi, matan adalah sabda Nabi yang disebutkan sanad, atau dengan kata lain, materi hadis / teks hadits.
Kritik matan hadis atau lazim disebutkan kritik internal hadits merupakan suatu analisis atas keabsahan matan sebuah hadis. Suatu hadis yang shohih sanadnya tidak serta merta dinilai shohih pula dari segi matannya. Oleh karena itu, shohihnya sebuah matan hadis merupakan prasyarat tersendiri bagi keshohihan suatu hadis.
Para ulama ahli hadits telah memberikan kriteria bahwa hadis yang berkualitas shohih dari segi matan serta dinilai maqbul adalah hadits yang matannya mempunyai formasi kata, kalimat serta makna yang sempurna, sesuai dengan al-Qur’an, Hadis Mutawatir, fakta sejarah serta matan hadits terhindar dari syadz dan ‘illat.[15]
1.      Kesempuranaan Makna.
Kesempurnaan matan disini dalam pengertian hadis mengandung makna yang tidak bertentangan potensi positif manusia, secara logis dapat diterima oleh akal, tidak bertentangan ilmu pengetahuan serta sunnatullah. Kesempurnaan makna matan ini terkait erat dengan syarah / penjelasan hadis.
2.      Kesesuaian dengan al-Qur’an dan Hadits Mutawatir.
Salah satu kriteria kesahihan matan hadis adalah tidak bertentangan dengan hukum al-Qur’an yang telah muhkam dan tidak pula bertentangan dengan hadis mutawatir. Berikut beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur kesahihan matan hadis menuntut ilmu di atas.
$tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râÉYãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâxøts
 “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah: 122).
!$tBur $uZù=yör& šn=ö6s% žwÎ) Zw%y`Í ûÓÇrqœR öNÍköŽs9Î) ( (#þqè=t«ó¡sù Ÿ@÷dr& ̍ò2Ïe%!$# bÎ) óOçFZä. Ÿw šcqßJn=÷ès?
“Kami tiada mengutus Rasul-Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka. Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui.” (QS. Al-Anbiya’: 7)
من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله طريقا الى الجنة
“Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah SWT akan memudahkan baginya jalan menuju surga.”(HR. Muslim)[16]

Dari uraian ayat dan hadis di atas dapat disimpulkan bahwa matan hadis menuntut ilmu yang diriwayatkan Ibnu Majah tersebut sesuai dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadis mutawir.
3.      Terhindar dari Syad dan Illat.
Dengan kesempurnaan formasi kata / kalimat serta kesesuaian hadis ini dengan al-Qur’an, serta didukung pula dengan hadis yang lain (walaupun tidak sama dalam segi matan, hal ini cukup menunjukkan bahwa hadis tentang kewajiban menuntut ilmu yang ditakhrij oleh Ibnu Majah terhindar dari Syadz (para rawinya bertentangan dalam satu periwayatan) dan ‘Illat (cacat yang diketahui oleh para ahil hadis / keganjilan hadits jika dikaitkan dengan fakta sejarah).
Dari kedua hadits diatas (Riwayat Ibnu Majjah dan Riwayat Al-Thabrani) memiliki matan yang sama. Hanya saja dalam riwayat Ibnu Majjah terdapat tambahan, yaitu :
 وَ وَاضَعُ الـْعِلـْمِ عِنـْدَ غـَيْرِ أهْلِهِ كـَمُقـَلـِّدِ الـْخَنـَازِيْرِ الـْجَوْهَرَ وَاللـُّؤْلـُؤَ وَالذ َّهَبَ
Artinya :  “Dan orang yang meletakkan ilmu pada selain ahlinya bagaikan menggantungkan permata, mutiara dan emas pada babi hutan.”
Dalam menanggapi persoalan ziyadah ini, maka menurut Ibnu al-Shalah, ziyadah ada tiga macam:, yakni:
1.      Ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqah yang isinya bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang bersifat siqah juga, ziyadah tersebut ditolak, dan ziyadah seperti ini termasuk hadis sadz.
2.      Ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqah yang isinya tidak bertentangan dengan yang dikemukakan oleh banyak periwayat yang bersifat siqah juga; ziyadah seperti ini dapat diterima. Pendapat ini merupakan kesepakatan ulama.
3.      Ziyadah yang berasal dari periwayat yang siqah berupa sebuah lafaz yang mengandung arti tertentu, sedang para periwayat lainnya yang bersifat siqah tidak mengemukakannya. Ibnu Shalah tidak mengemukkan penjelasan tentang bagaimana kedudukan ziyadah model ketiga ini.[17]
Dengan demikian dapat diketahui bahwa ziyadah dari jalur sanad Ibnu Majjah diatas tidak bertentangan dengan periwayat dari jalur Al-Thabrani, karena kata tambahan/ziya>dah-nya secara arti tidak bertentangan. Oleh sebab itu, ziyadah seperti ini dapat diterima.

4.      Pemahaman Hadits
Firman Allah SWT;
Artinya ; Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan Tuhanmulah yang paling pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.[18] (al-Alaq 1-5)
Wahyu Nabi yang pertama dimulai dengan divine command (perintah ilahiyah) “bacalah” ayat ini menunjukan arti penting membaca dan menulis sebagai aktivitas intelektual , wahyu nabi adalah pembebasan dan pencerdasan umat (liberating and civilizing) kata Iqra’ adalah seruan pencerahan intelektual yang terbukti dalam sejarah mampu mengubah peradaban manusia dari masa kegelapan jahiliyyah ora-intelektual dan membawanya kepada peradaban tinggi di bawah petunjuk Ilahi.[19] Ayat pertama dalam al-Qur’an ini memerintahkan membaca (kewajiban menuntut ilmu), sekaligus mengisyaratkan perhatian islam kepada  dunia pendidikan.
Dalam hadits Nabi ini, dapat dikatakan berfungsi sebagai Taukid (memperkuat) dari kalim kewajiban menuntut ilmu, “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap orang islam…”, dan kewajibanya tidak terbatas pada masa remaja, tetapi sampai tua pun kewajibanya tidak pernah berhenti sehingga masuk liang lahat.
Syaikh az-Zarnuji dalam kitabnya “Ta’limul Muta’alim” mengatakan bahwa ilmu yang wajib dituntut terlebih dahulu adalah “al-Ilmu al-khall’ yaitu ilmu yang seketika/ akan pasti digunakan dan diamalkan bagi setiap orang yang sudah baligh. Seperti ilmu tauhid; untuk mengenal Allah, dan ilmu fiqh; ilmu untuk beribadah,. Apabila kedua ilmu tersebut telah dikuasai, baru mempelajari ilmu-ilmu lain seperti ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lain yang bermanfaat bagi manusia yang dibutuhkan pada waktu tertentu (Ahayiin) maka bersifat kifayah.[20]
Kemudian syaikh az-Zarnujii menambahkan keterangan dari apa yang ia nukilakan dari perkataan imama sayafi’i “ ilmu itu ada dua; ilmu fiqh untuk mengerti agamanya dan ilmu kesehataan untuk urusan badanya dan yang selain keduanya adalah untuk bekal (tambahan)”[21] beliau menekankan ilmua agama sebelum mempelajari ilmu dunia dimaksudkan agar kelak ia mempunyai landasan tauhid dalam mengamalkan ilmunnya sehinnga mempunyai nilai ibadah. Menurut Dr. Nurwadjah, konsekuensi dari tauhid adalah; manusia harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi berdasar hukum alam sehingga benar-benar menjadi khalifah di bumi.[22]
Berdasarkan kepentingannya, al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua.[23]
1.      Ilmu yang wajib (fardlu diketahui oleh semua orang yang meluputi ilmu agama, ilmu yang bersumber pada kitab Allah.
2.      Ilmu yang hukum mempelajarinya fardlu kifayah meliputi ilmu yang digunakan untuk memudahkan urusan duniawi, seperti ilmu hitung, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu pengetahuan dan industri.
Dalam matan hadits ini disebutkan bahwa kewajiban menuntut iilmu bagi (مسلم) orang muslim yang boleh saja diartikan hanya “laki-laki muslim” karena menggunakan kata mudzakar sehingga bisa dan boleh menimbulkan penafsiran bahwa yang boleh (diwajibkan) menuntut ilmu adalah hanya orang laki-laki, yang kemudian membuat ruang gerak kaum perempuan semakin sempit. Dalam hal dalil dhanny;(dhannyu al-dalalah) inilah sesungguhnya untuk memahaminya diperlukan pisau analisis yang harus dipinjam dari ilmu-ilmu lainya. Dengan begitu pemahaman atau tafsiran terhadap ajaran keadailan prinsip dasar agama akan berkembang sesuai dengan pemahaman atas realitas sosial, karena sesungguhnya prinsip dasar agama islam untuk menegakan keadilan tetap relevan.[24]
Kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan menurut Prof. Dr. Tsuroya Kiswati, MA mempunyai beberapa prinsip diantaranya[25] ;
1.      Prinsip pertama; bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari unsure yang sama (single soul/ nafs wakhidah). Karena diciptakan dari esensi yang sama.
2.      Prinsip kedua; Tuhan memuliakan seluruh anak adam, baik lelaki/perempuan. Tuhan tidak mendiskriminasikan hamba berdasarkan jenis kelamin, tetapi yang membedakan hanya ketakwaan kepadaNya.
3.      Prinsip ketiga; lelaki dan perempuan berhak mendapat balasan yang sama, mendapat pahala atau dosa tergantung dari perbuatanya. Reward and punishment dari tuhan tidak memandang perbedaan jenis kelamin, tetapi melihat tanggung jawab masing-masing individu.
Jadi pada intinya kewajiban mencari ilmupun dibebankan bagi setiap orang Islam baik laki-laki maupun perempuan, muda maupun tua dan kewajibannya berlaku sepanjang masa.



III.        PENUTUP
1.      Kesimpulan
Setelah diadakan penelitian lebih mendalam terhadap hadis kewajiban menuntut ilmu baik yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah maupun Al-Thabrani dapat disimpulkan :
1.      Secara sanad hadis ini dinilai marfu’ muttasil (bersambung sanadnya secara sempurna berdasarkan urutan thabaqatnya).
2.      Secara matan hadis ini dinilai maqbul karena formasi kata dan kalimat dalam matan hadis sesuai dengan al-Qur’an, hadis (tidak bertentangan dengan hadis yang lain), fakta sejarah serta terhindar dari syadz dan ‘illat hadis.
3.      Ilmu yang wajib dituntut terlebih dahulu yaitu tauhid ; untuk mengenal Allah SWT, dan syara’ ; untuk beribadah kepadaNya.
4.      Kewajiban menuntut ilmu tidak memandang jenis kelamin ataupun hanya pada satu masa saja.
Demikian bagi pengkaji hadis, dituntut untuk memiliki kecermatan dalam menelaah kualitas hadis agar dapat diperoleh fakta yang secara ilmiah akademis dapat dipertanggungjawabkan. Semoga makalah sederhana ini dapat bermanfaat baik secara akademis maupun dakwah islamiyah.


[1]     Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.
[2]     Departemen Agama RI, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta : Al Huda,2005), hlm. 272
[3]     Nurwadjah  Ahmad Dr. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan  (Bandung; Marja, 2007 ) hlm  11
[4]     Yaitu kumpulan koleksi kitab hadits yang disusun oleh Sembilan imam hadits yaitu, al-Bukhari, Muslim, Turmudzi, Nasa’I, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik, dan ad-Darami.
[5]     Software CD, al-kutub at-tis’ah
[6]     Software CD, Asy-Syamilah, Mu’jam al-Kabir li al-Tabrani (9: 42)
[7]     Software CD, al-kutub at-tis’ah
[8]    Semua sahabat Nabi saw yakni orang Islam yang pernah bergaul atau melihat Nabi dan meninggal dalam keadaan Islam dinilai bersifat adil oleh hampir seluruh ulama. Argumen yang mendasari sifat adilnya para sahabat Nabi adalah dalil-dalil al-Qur’an, hadis Nabi, dan ijma’ ulama. Lebih lanjut lihat M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 160-168.
[9]     Software CD, al-kutub at-tis’ah
[10]  Istilah tsiqah digunakan untuk menyatakan gabungan dua level, yaitu kapasitas moral (‘âdil/keadilan) dan kapasitas intelektual (dhâbith/kuat hafalan) dari periwayat hadis, sehingga memiliki tingkatan keterpercayaan yang dapat diterima dan dijadikan hujjah oleh ulama.
[11]    Software CD, al-kutub at-tis’ah
[12]    Software CD, al-kutub at-tis’ah
[13]    Software CD, al-kutub at-tis’ah
[14]    Ibn Katsr, Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid 11, hal. 52.
[15]    Husein Yusuf, “Kriteria Hadis Shohih; Kriteria Sanad dan Matan”, dalam Pengembangan dan Pemikiran terhadap Hadis, ed. Yunahar Ilyas dan M. Mas’udi (Yogyakarta : LPPI, 1996) hlm. 34.
[16]    Husein bahreisj al-jamius sahih.(Surabaya;CV. Karya utama) hlm 30
[17]    Ibnu al-S}ala>h}, Ulu>m al-Ha>di>s\. Naskah diteliti oleh Nuruddin ‘Itr (al-Madi>nah al-Munawwarah : al-Maktabah al-‘ilmiyah, 1972), hlm.77.

[18]    R.H.A Soenarjo, SH.,dkk, Al-Quran dan terjemah, (Jakarta ;Depag RI, 1989), hlm 1079
[19]    H. Abdurrahman Mas’ud prof. ph. D. Antologi Study Agama dan Pendidikan (Semarang; CV. Aneka ilmu, 2004) hlm 69
[20]    Syaikh az-Zarnuji, Ta’limu al-Muta’lim (Surabaya; مكتبة الهداية) hlm 4
[21]    Ibid,  العلم علمان علم الفقه للاديان و علم الطب للابدان وما وراء ذالك بلغة مجلس
[22]    Nurwadjah  Ahmad Dr. op.cit, hlm 166
[23]    Drs. Abuddin Nata, MA, Filsafah Pendidikan Islam 1 (Jakarta : Logos Wacara Ilmu, 1997) hlm. 167.

[24]  Mansour Faqih Dr. Analisis Gender & Transformasi Sosial (Yogyakarta; Pustaka pelajar, 2006) hlm 136
[25]    Himpunan Orasi Ilmiah Guru Besar IAIN Sunan Ampel Surabaya, Dialektika Islam dengan Problem Kontemporer. (Surabaya; IAIN  Press & LKiS, 2006) hlm 200-201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar