PERKEMBANGAN LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Safrudin, S.Sos.I
I. PENDAHULUAN
Perkembangan kebudayaan islam masa pertama kali ditandai dengan berkembang luasnya lembaga-lembaga pendidikan islam dan marasah-madrasah (sekolah-sekolah) formal serta universitas-niversitas dalam berbagai pusat kebudayaan islam. Lembaga-lembaga pendidikan, sekolah dan universitas tersebut napak sangat dominant pengaruhnya dalam membentuk pola kehidupan dan pola budaya kaum muslimin. Berbagai ilmu pengetahuan yang berkebang melalui lembaga pendidikan itu menghasilkan pembentukan dan pengembangan berbagai macam aspek budaya kaum muslimin.
Kalau masa sebelumnya, pendidikan hanya sebagai jawaban terhadap tantangan dari pola budaya yang telah berkembang dari bangsa-bangsa yang baru memeluk agama islam, tetapi sekarang harus merupakan jawaban terhadap tantangan perkembangan dan kemajuan kebudayaan islam sendiri yang berjalan sangat cepat. Kebudayaan islam telah berkembang demikian cepatnya sehingga mengungguli bahkan menjadi puncak budaya umat manusia pada zaman itu. Kebudayaan islam pada masa jayanya ini, bukan saja mendatangkan kesejahteraan bagi kaum muslimin saja, tetapi juga mendatangkan kesejahteraan bagi umat manusia pada uumnya, mendatangkan rahmatan lil ‘alamin.
II. BERKEMBANGNYA LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
a. Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar
Kuttab atau maktab, berasal dari dasar kata kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi katab adalah belajar menulis, sebelum datangnya islam, kuttab telah ada di negri arab. Walaupun belum banyak dikenal. Di antara penduduk mekkah yang mula-ula enulis huruf arab adalah sufyan ibnu umaiyah ibnu abdu syama, dan abu qais ibnu abdi manaf ibnu zuhroh ibnu kilat. Keduanya mempelajarinya ni negri hirah.[1]
Sewaktu agama islam diturunkan Allah sudah ada dari para sahabat yang pandai baca tulis. Kemudian baca tulis tersebut ternyata mendapat tempat dan dorongan yang kuat dalam islam. Ayat al-qur’an yang pertama diturunkan, telah memerintahkan untuk membaca dan memberikan gambaran bahwa kepandaian membaca dan menulis merupakan sarana utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan dl pandangan Islam.[2] Pengajaran al-qur’an sejak awalnya juga telah memerlukan kepandaian baca tulis ini, demikian pula pengembangan al-qur’an, pada akhirnya juga sangat memrlukan kepandaian baca tulis. Walaupun pada mulanya Rasulullah melarang untuk menuliskan selain al-qur’an.
Kepandaian baca tulis dalam kehidupan sosial dan politik umat islam ternyata memegang peranan penting, sejak nama nabi Muhamad SAW digunakan sebagai media kounikasi dakwah kepada bangsa-bangsa di luar bangsa arab, dan dalam menuliskkan berbagai macam perjanjian. Pada masa khulafaurrosyudin dan masa-masa selanjutnya, baca tulis digunakan dalam komunikasi ilmiah dan berbagai buku ilmu pengetahuan.
Karena baca tulis semakin terasa perlu, maka kuttab sebagai tempat belajar membaca dan menulis terutama bagi anak-anak, berkembang dengan pesat. Pada mulany, di awal perkembangan islam, Kuttab tersebut dilaksanakan di rumah guru-guru yang bersdsangkutan, dan yang diajarkan adalah semata-mata menulis dan membaca. Sedangkan yang ditulis/dibaca adalah syair-syair yang terkenal pada masanya. Dalam hal ini, ahmad salabi dalam sejarah pendidikan islam memberikan penjelasan sebagai berikut :
... bahwa dalam mengajarkan menulis dan membaca dewasa itu adalah salah satu dari pekerjaan kaum Dzimmy dan tawanan perang Badar, orang-orang itu tentu saja tidak ada hububngannya dengan al-qur’an al karim, juga dengan agama islam. Zaman ini disambung lagi dengan zaman yang datang kemudian yang juga di masa itu pekerjaan mengajarkan menulis dan membaca itu adalah dikenal sebagai pekerjaan kaum Dzimmy. Adapn kaum musimin yang telah belajar menulis dan membaca, banyak pekerjaan-pekerjaan yang lebih penting memerlukan tenaga mereka.[3]
Selanjutnya dijelaskan pengajaran al-qur’an kepada anak-anak pada masa itu belum dikaitkan dengan kuttab dan pelajaran menulis dan membaca :
... dipersaksikan oleh pelawat ternama ibnu dubair (614 H.) dan dicatatnya dalam bukunya Al Rihlah, sebagai berikut : mengajarkan al-qur’an al karim kepada anak-anak di seluruh negri timur ini adalah dengan jalan membacakan. Menulis diajarkan oleh mereka dengan jalan menuliskan syair-syair, yang demikian itu agar al-qur’an al karim jangan sampai dipermainkan oleh anak-anak dengan menulis dan menghapusnya. Boleh jadi pada kebanyakan negri, mengajarkan al-qur’an dilaksanakan pada suatu tempat belajar menulis pada tempat yang lain. Sesudah mempelajari al-qur’an pergi ke tempat belajar menulis. Cara yang dilajankan oleh mereka seperti ini adalah baik. Disebabkan karena mereka adalah bagus, karena sang guru tidak mempunyai pekerjaan yang lain dari tgasnya, sebab itu dia dapat mencurahkan segenap perhatiannya pada tugasnya itu, demikian pula si anak, dia mencurahkan pula segenap perhatiannya kepada pelajaran itu.[4]
Kemudian pada akhirnya abad pertama hijriyah mulai timbul jenis kuttab yang disamping memberikan pelajaran menulis dan membaca juga mengajarkan membaca al-qur’an dan pokok-pokok peklajaran agama. Pada mulanya, kuttab jenis ini, merupakan pemindahan dari pengajaran al-qur’an yang berlangsung di masjid, yang sifatnya umum (bukan saja bagi anak-anak, tetapi terupama bagi orang dewasa). Anak-anak ikut pengajian di dalamnya tetapi karena mereka tidak dapat diharapkan untuk menjaga kesucian dan kebersihan masjid, lalu diadakan tempat khusus di samping masjid untuk tempat anak-anak belajar Al-Qur'an dan pokok-pokok agama. Selanjutnya berkembanglah tepat khusus (baik yang dihubungkan dengan masjid maupun yang terpisah) untuk pengajaran anak-anak berkembanglah kuttab yang bukan hanya mengajarkan Al-Qur'an, tetapi juga pengetahuan-pengetahun dasar lainnya. Dengan demikian kuttab tersebut berkembang menjadi lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal. Dalam hal ini ahmad salabi menjelaskan sebagai berikut :
Tatkala kttab-kuttab telah didirikan dan orang-orang yang hafal Al-Qur'an telah bekerja pada kuttab-kuttab itu maka dijadikanlah Al-Qur'an sebagai titik pusat pelajaran rendah ini serta ditambahi dengan beberapa mata pelajaran yang lain. Imam ghazali umpamanya mengajarkan supaya anak-anak mempelajari di kuttab itu Al-Qur'an, dan cerita orang-orang sholeh dan baik, kemudian beberapa peraturan agama, sesudah itu syair, tetapi anak-anak itu haruslah dijaga dari syair tentang rindu dendam, dan asyik maksyuk. Ibnu maskawaih menambahkan pokok-pokok ilmu itu dan sedikit dari tata bahasa.[5]
b. Pendidikan Rendah di Istana
Timbulnya pendidikan rendah di istana untuk anak-anak para pejabat, adalah berdasarkan pemikiran bahwa pendidikan itu harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya kelak setelah ia dewasa. Atas dasar pemikiran tersebut, khalifah dan keluarganya serta para pembesar istana lainnya berusaha menyiapkan agar anak-anak sejak kecil sudah diperkenalkan dengan lingkungan dan tugas-tugas yang dapat diembannya nanti. Oleh karena itu mereka memanggil guru-guru khusus untuk memberi pendidikan kepada anak-anak mereka.
Pendidikan anak di istana berbeda dengan pendidikan anak-anak di kuttab pada umumnya. Di istana orang tua murid (para pembesar di istana) adalah yang membuat rencana pembelajaran tersebut selaras dengan anaknya dan tujuan yang dikehendaki oleh orang tuanya. Guru yang mengajar di istana disebut mu’addib. Kata mu’adib barasal dari adab, yang berarti budi pekerti atau meriwayatkan. Guru pendidikan anak di istana disebut muaddib. Karena berfungsi mendidik budi pekerti dan mewariskan kecerdasan dan pengetahuan-pebgetahuan orang-orang dahulu kepada anak-anak pejabat.
Rencana pelajaran untuk pendidikan di istana pada garis besarnya sama saja dengan rencana pelajaran pada kuttab-kuttab, hanya di tambah atau dikurangi menurut kehendak para pembesar yang bersangkutan, dan selaras dengan keinginan untuk menyiapkan anak tersebut secara khusus untuk tujuan-tujuan dan tanggung jawab yang akan dihadapinya dalam kehidupan nanti.
Berikut akan dikemukakan contoh dari rencana pelajaran dan petunjuk-petunjuk yang dikemukakan oleh pembesar istana kepada pendidik ank-anaknya agar dijadikan sebagai pedoman sebagai berikut :
1. berkata amru ibnu utbah kepada pendidik putranya : kerjamu yang pertama untuk memperbaiki dirimu sendiri, karena mata mereka selalu terikat kepadamu. Apa yang kamu perbuat itulah yang baik menurut pandangan mereka, yang buruk ialah apa yang kamu tinggalkan. Ajarkanlah kepada mereka Al-Qur'an, tetapi jagalah agar mereka tidak sampai merasa bosan, karena kalau sampai demikian Al-Qur'an itu akan ditinggalkannya, dan janganlah mereka dijauhkan dari Al-Qur'an, nanti merka meninggalkan Al-Qur'an itu sama sekali. Riwayatkanlah kepada mereka hadis dan syair yang baik. Jangan kamu bawa mereka berpindah dari sesuatu ilmu (sesuatu pelajaran) kepada ilmu yang lain sebelum ilmu itu telah dipahaminya betul-betul. Sebab ilmu yang tertimbun-timbun dalam otak sukar dipahamkan. Ajarkanlah kepada mereka jalan orang-orang yang bijaksana. Jauhkan mereka dari berbicara dengan perempuan-perempuan. Janganlah engkau bersandar kepada kemaafanku, karena akupun telah menyerahkan sepenuhnya kepada kecakapanmu.[6]
2. Harun al Rasyid telah mengajukan rencana pelajaran bagi putranya (al amin) dengan mengatakan sebagai berikut : hai akhmar ! sesungguhnya amirul mukmibnin telah memberikan kepadamu buah hatinya, maka jadikanlah tanganmu terbuka kepadanya dan ketaatannya kepadamu wajib. Janganlah berdosa kepadanya agar engau selalu berada di tempat kedudukanmu yang telah ditentkan oleh amirul mukminin. Bacakanlah kepadanya Al-Qur'an, ceroitakanlah kepadanya peristiwa, riwayatkan kepadanya syair, ajarkan kepadanya sunnah nabi Muhammad SAW, tunjukkan kepadanya bagaimana menyusun perkataan dan memulainya. Laranglah dia ketawa kecuali pada tempatnya. Biasakanlah mereka menghormati orang-orang besar bani hasyim bila mereka mengunjunginya. Dan meninggikan tempat duduk panglima tentara, bila mereka menghadiri majlisnya. Jangan dibiarkan waktu berlalu walaupun sesaat tanpa engkau ikhtiarkan sesuatu yang berfaidah baginya, tetapi dengan tidak menyusahkan hatinya, karena bila hatinya susah tumpullah otaknya. Janganlah engkau terlampau berlapang dada kepadanya, karena dengan demikian dia akan malas bekerja dan terbiasa menganggur. Asuhlah dia dengan baik dan lemah lembut sedapat mungkin, akan tetapi bila yang demikian tidak mempan terhadapnya, maka pakailah kekuatan dan kekerasan kepadanya.[7]
c. Toko-toko kitab
Pada mulanya masa Daulah Abbasyiyyah, dimana ilu pengetahuan dan kebudaan islam sudah tumbuh dan berkembang dan diikuti oleh penulisan kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu pebngetahuan, maka berdirilah took-toko kitab. Pada mulanya took-toko kitab tersebut berfungsi sebagai tepat berjual beli kitab-kitab yang telah ditulis dalam berbagai imu pengetahuan yang berkembang pada masa itu. Mereka membeli dari para penulisnya kemudian menjualnya kepada siapa yang berminat untuk mempelajarinya.
Saudagar-saudagar buku tersebut bukanlah orang-orang yang semata-mata mencari keuntungan dan laba, akan tetapi kebanyakan mereka adalah sastrawan yang cerdas, yang telah memilih usaha sebagai pedagang kitab tersebut, agar mereka mendapat kesempatan yang baik untuk membaca dan menelaah, serta bergaul dengan para ulama dan pujangga-pujangga. Mereka juga menyalin kitab-kitab yang penting dan menodorkannya kepada mere yang memerlukannya dengan mendapat imbalan. Dh demikian took-toko kitab tersebut telah berkembang fungsinya bukan hanya sebagai tempat berjual beli kitab-kitab saja tetapi juga merupakan tempat berkumpulnya para ulama, pujangga dan ahli-ahli ilmu pengetahuan lainnya untuk berdiskusi, berdebat, bertukar pikiran dalam berbagai masalah ilmiah. Jadi, sekaligus berfungsi sebagai lembaga pendidikan dalam ranka pengembangan berbagai macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam.
d. Rumah-rumah para ulama (ahli ilmu pengetahuan)
Walaupun sebelumnya, rumah bukanlah tempat yang baik untuk tempat memberikan pelajaran. Namun pada zaman kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam, banyak juga rumah-rumah para ulama’ dan para ahli ilmu pengetahuan menjadi tempat belajar dan pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini pada umumnya disebabkan para ulama’ dan ahli yang bersangkutan tidak mungkin memberikan pelajaran di masjid, sedangkan pelajar banyak yang berminat untuk mempelajari ilmu pengetahuan dari padanya.
Diantara rumah para ulama’ terkenal yang menjadi rumah belajar adalah rumah ibnu sina, al ghazali, ali ibnu Muhammad al fasihi, ya’qub ibnu kilis, wazir kholifah al aziz billah al fatimi, dan lainnya.
Selanjutnya ahmad salabi mengemukakan bahwa dipergunakannya rumah-rumah ulama’ dan para ahli tersebut, adalah karena terpaksa (dalam keadaan darurat), misalnya rumah alghazali, setelah tidak mengajar lagi di madrasah nidamiyyah dan menjalani kehidupan sufi. Para pelajar terpaksa datang ke rumahnya karena kehausan akan ilmu pengetahuan dan terutama karena pendapatnya yang sangat menarik perhatian mereka. Sama halnya dengan al ghazali, adalah ali ibnu Muhammad al fasihi, yang dituduh sebagai seorang syi’ah kemudian dipecat dari mengajar di madrasah nidamiyyah, lalu mengajar di rumahnya sendiri. Beliau-beliau dikenal sebagai guru dan ulama yang kenamaan maka kelompok pelajar tetap mengunjunginya di rumahnya untuk meneruskan pelajaran.[8]
e. Majlis atau salon kesusastraan
Dengan majlis atau salon kesusastraan, dimaksudkan adalah suatu majlis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk membahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majlis ini bermula sejak zaman khulafa’ al rasyidin yang biasanya memberikan fatwa dan musyawarah serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa itu. Tempat pertemuan pada masa itu adalah di masjid. Setelah masa khalifah bani umayyah, tempat masjid tersebut di pindah ke istana, dan orang-orang yang berhak menghadirinya adal orang-orang tertentu saja yang diundang oleh khalifah. Bahkan pada masa khalifah Daulah Abbasyiyyah, majlis sastra ini sangat menjadi kebanggaan khalifah yang memang pada umumnya khalifah-khalifah Daulah Abbasyiyyah sangat tertarik pada perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam majlis tersebut, bukan hanya dibahas dan didiskusikan masalah-masalah kesusastraan saja, melainkan juga berbagai macam ilmu pengetahuan (majlis ilmu pengetahuan) dan berbagai kesenian (majlis kesenian).
Pada masa harun al rasyid (170-193 H) majlis sastra ini menghadapi kemajuan yang luar biasa karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan dan juga mempunya kecerdasan, sehingga khalifah sendiri aktif di dalamnya. Di samping itu, pada masa tersebut dunia islam memang diwarnai oleh perkembangan ilmu pengetahuan, sedangkan Negara berada pada kondisi yang aman, tenang dan dalam zaman pembangunan pada masanya sering diadakan antar ahli-ahli syair perdebatan antar fuqoha dan diskusi antar sarjana berbagai ilmu pengetahuan juga diadakan sayembara di antara ahli kesenian dan pujangga.[9]
f. Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal baduwi)
Sejak berkembang luasnya islam, dan bahasa arab dipergunakan sebagai bahasa pengantar oleh bangsa-bangsa di luar bangsa arab yang beragama islam, dan terutama di kota-kota yang banyak percampurannya dengan bahasa-bahasa lain, maka bahasa arab berkembang luas, tetapi bahasa arab cenderung kehilangan keaslian dan kemurniannya. Orang-orang di luar bangsa arab sering tidak bisa mengucapkan lafadz-lafadz dengan baik, tidak tahu kaidah-kaidahnya, sehingga sering salah mengucapkannya. Bahasa arab menjadi rusak dan menjadi bahasa pasaran.
Kalau di kota-kota bahasa arab sudah rusak dan menjadi bahasa pasaran dan campur baur dengan bahasa lain ternyata tidak demikian halnya di badiah-badiah atau di dusun tempat tinggal orang arab dipandang mereka tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa arab. Mereka masih sangat memperhatikan kefasihan berbahasa dengan memelihara kaidah-kaidah bahasanya. Dengan demikian, badiah-badiah ini merupakan sumber bahasa arab asli dan murni.[10]
Oleh karena itu, khalifah-khalifah biasanya megirimkan anak-anaknya ke badiah-badiah ini untuk mempelajari bahasa arab yang fasih lagi murni dan mempelajari pula syair-syairserta sastra arab dari sumbernya yang asli. Banyak ulama-ulama dan ahli ilmu pengetahuan lainnya yang pergi ke badiah-badiah dengan tujuan untuk mempelajari bahasa dan kesusastraan arab yang asli lagi murni tersebut. Badiah-badiah tersebut lalu menjadi suber ilmu pengetahuan terutama bahasa dan sastra arab dan berfungsi sebagai lembaga pendidikan islam.
Di samping itu di badiah-badiah ini biasanya berdiri ribath-ribath atau zawiyah-zawiyah yang merupakan pusat-pusat kegiatan dari pada ahli sufi. disanalah para sufi mengembangkan metode khusus dalam mencapai makrifah, suatu ilmu pengetahuan yang mereka anggap paling tinggi nilainya.
g. Rumah sakit
Pada zaman jayanya perkembangan kebudayaan islam dalam rangka menyebarkan kesejahteraan di kalangan umat islam, maka banyak didirikan rumah-rumah sakit oleh khalifah dan pembesar-pembesar Negara. Rumah sakit tersebut, bukan hanya berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang sakit. Tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Mereka mengadakan berbagai penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan, sehingga berkembang ilu kedokteran dan ilmu obat-obatan atau farmasi. Rumah sakit ini juga tempat praktikum dari sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, tetapi tidak jarang pula sekolah kedokteran tersebut didirikan tidak terpisah dari ruah sakit. Dengan demikian, rumah sakit dalam dunia islam juga berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
h. Perpustakaan
Pada zaman perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam, buku mempunyai nilai yang sangat tinggi. Buku adalah merupakan sumber informasi berbagai macam ilmu pengetahuan yang ada dan telah dikembangkan oleh para ahlinya. Orang dengan mudah dpt belajar dan mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah tertulis dalam buku. Dengan demikian buku merupakan sarana utama dalam usaha pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan.
Di samping itu berkembang pula perpuastakaan-perpustakaan yang sifatnya umum, yang diselenggarakan oleh pemerintah atau merupakan wakaf dari para ulama dan sarjana. Baitul hikmah di Baghdad yang didirikan oleh khalifah harun al rasyid adalah salah satu contoh dari perpustakaan islam yang lengkap yang berisi ilmu-ilmu agama islam dan bahasa arab, bermacam-macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pada masa itu, dan berbagai buku-buku terjemahan dari bahasa yunani, Persia , India , qibti dan arami.[11]
Perpustakaan-perpustakaan dalam dunia islam pada masa jayanya, dikatakan sudah menjadi efek budaya yang penting, sekaligus sebagai tempat belajar dari sumber pengembangan ilmu pengetahuan.
i. Masjid
Semenjak berdirinya di zaman nabi Muhammad SAW masjid telah menjadi pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kehidupan kaum muslimin. Ia menjadi tempat bermusyawarah, tempat mengadili perkara, tempat menyampaikan penerangan agama dan informasi-informasi lainnya dan tempat menyelenggarakan pendidikan, baik bagi ank-anak maupun orang dewasa. Kemudian pada masa bani umayyah, berkembang fungsinya sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan, terutama yang bersifat keagamaan, para ulama mengajarkan ilmu di masjid, tetapi majlis khalifah berpindah ke masjid atau ke tempat tersendiri.[12]
Pada masa Daulah Abbasyiyyah dan masa perkembangan kebudayaan islam, masjid yag didirikan oleh para pengusaha pada umumnya diperlengkapi dengan berbagai macam sarana dan fasilitas pendidikan. Tempat pendidikan anak-anak, tempat untuk pengajian dari ulama yang merupakan kelompok-kelompok (halaqoh); tempat untuk berdiskusi atau munadzarah dalam berbagai ilmu pengetahuan dan juga dilengkapi dengan ruang perpustakaan dengan buku-buku dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang cukup banyak.
Demikianlah masjid dalam dunia islam sepanjang berdirinya tetap memegang peranan yang pokok, disamping fungsinya sebagai tempat berkomunikasi dengan Tuhan, sebagai lembaga pendidikan dan pusat komunikasi sesame kaum muslimin.
III. PENUTUP
Dari berbagai proses perkembangan ilmu pengetahuan melalui lembaga pendidikan yang ada pada masa itu menghasilkan pembentukan dan pengambangan berbagai macam aspek budaya kaum muslimin.
Juga berkembang pula perpustakaan-perpustakaan yang bersifat umum, yang pada masa jayanya dikatakan sudah menjadi aspek budaya yang penting. Sekaligus tempat belajar dan merupakan sumber ilmu pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Prof. Dr. Ahmad Syalaby, Sejarah Pendidikan Islam, Terjemahan Prof. H. Muchtar Yahya, Drs. Sanusi Latief, Bulan Bintang, Jakarta
2. Haikal, Sejarah Hidup Muhamad, Jilid I (Terjemahan Ali Audah), 1972, Tinta Mas, Jakarta
3. Umar Muhammad Al Thoumy, Falsafah Pendidikan Islam, (terjemahan Dr. Hasan Langgulung dan Prof. Dr. AS. Broto), Bulan Bintang, Jakarta
4. Prof. Dr. Mastuhu, M. Ed. Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, cet II, 1999, Logos, Jakarta
5. Drs. Huzairin, Sejarah Pendidikan Islam, bekerja sama dengan Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam Depag, Bina Aksara, Jakarta , Cet. III, tahun 1992
6. Drs. H. M. Arifin, M. Ed. Kapita Selekta Pendidikan (umum dan agama), CV. Thoha Putra, Semarang , 1981
[1] Drs. Huzairin, Sejarah Pendidikan Islam, bekerja sama dengan Direktorat Jendral Pembinaan Agama Islam Depag, Bina Aksara, Jakarta , Cet. III, tahun 1992, hal. 89
[2] A. Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam (terjemahan Muchtar Yahya), Bulan Bintang, Jakarta, 1973. hal. 36
[3] Ibid. hal. 37
[4] Ibid. hal. 45
[5] Ibid. hal. 50
[6] Ibid. hal. 51
[7] Ibid. hal. 60-61
[8] Ibid. hal. 73-74
[9] Ibid. hal. 76-77
[10] Ibid. hal. 77-78
[11] Ibid. hal. 92-93
[12] Prof. H. Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Mutiara, Jakarta . 1979. hal. 60-62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar