Selasa, 01 Februari 2011

I’JAZUL QUR’AN



I’JAZUL QUR’AN
Oleh : Safrudin, S.Sos.I


A.    Pendahuluan
Bila mu’jizat Nabi dan Rasul terdahulu berupa mu’jizat inderawi atau materi, maka mu’jizat Muhammad SAW berupa mu’jizat ruhiyyah yang bersifat rasional. Alloh telah memberikan keistimewaan kepadanya berupa mu’jizat Al-Qur’an yang akan kekal sepanjang zaman.
Al-Qur’an dengan seluruh aspek kemu’jizatannya telah dinyatakan abadi, tidak akan mati dengan wafatnya nabi Muhammad SAW. Karena itu akan jelaslah perbedaan mu’jizat para nabi-nabi terdahulu. Mu’jizat Muhammad bila dikaji sepanjang zaman dengan beribu-ribu karangan bahkan seandainya lautan dijadikan tinta untuk menulis sekalipun maka tidak akan cukup.
Kata Imam Al-Banna “Jika terjadi sesuatu yang di luar kebiasaan dari Nabi SAW, di luar Al-Qur’an sebagaimana dalam sunnah-sunnah yang shahih, maka Nabi SAW sendiri tidak menantangnya, tetapi tantangannya dengan Al-Qur’an itu sendiri. Karenanya Al-Qur’an adalah sesuatu mu’jizat Rasul yang menyatakan risalahnya dan akan menyinarkan hati orang-orang muslim yang mengikutinya”.[1]
Al-Qur’an dengan seluruh keindahan bahasa dan kedalaman maknanya mengandung daya I’jaz yang tinggi. Ibnu katsir meriwayatkan bahwa suatu ketika Amr bin Ash bertandang ke tempatnya nabi palsu Musailamah Al-Kadzdzab di Nejed. Musailamah bertanya kepada Amr bin Ash, “apa gerangan yang turun kepada kawanmu Muhammad akhir-akhir ini, telah turun satu ayat yang singkat, padat dan indah, surat apa itu?” Tanya Musailamah. Amr bin Ash kemudian membacakan Surat ini:
ÎŽóÇyèø9$#ur ÇÊÈ ¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# (#öq|¹#uqs?ur Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÎŽö9¢Á9$$Î/ ÇÌÈ
Artinya:
1.  Demi masa.
2.  Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
3. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Sejenak Musailamah tertegun, lalu berkata:“Surat semacam itu juga turun kepadaku”. Giliran Amr bin Ash bertanya: “bagaimana bunyi surat itu?”, kemudian Musilamah berkata:

يا وبر يا وبـر # اٍنك اذنا وصدر # وسائرك حفـر نقـر #
“ Wahai Kelinci, wahai kelinci, kamu itu Cuma dua telingan dan dada. Di sekitarmu lubang galian”.

“Bagaimana pendapatmu, hai Amr?”. Amr segera menjawab “Demi Alloh, anda tahu bahwa aku tahu anda berdusta”.[2]
Amr bin Ash yang saat itu belum masuk Islam meyakini dengan jujur bahwa Al-Qur’an mengandung kata-kata yang singkat dengan kandungan makana yang dalam.

B.     Pengertian I’jazul Qur’an
“I’jaz adalah menetapkan kelemahan (itsbatul ‘ajzi)”. Kelemahan menurut pengertian umum adalah ketidak mampuan mengerjakan sesuatu, lawan kata dari kemampuan”.[3]
“I’jaz (mu’jizat) menurut bahasa adalah menisbatkan lemah kepada orang lain (itsbatul ‘ajzi ila al-ghairi)”.[4]
Sedangkan kalimat I’jazul Qur’an itu sendiri merupakan bentuk idhafah, menurut Imam Zarqani “I’jazul Qur’an” secara bahasa berarti ditetapkannya Al-Qur’an itu sendiri sudah melemahkan bagi yang akan menandinginya”[5]. Adapun pengertian mu’jizat menurut para theology (mutakallimini) mu’jizat adalah munculnya sesuatu hal yang berbeda dengan alat kebiasaan yang terjadi di dunia (Daar Al-Taklif) untuk menunjukkan kebenaran kenabian (nubuwwah) para Nabi”.[6]
Setelah menelaah berbagai definisi yang disimpulkan oleh para ahli tersebut bisa diambil pengertian bahwa kata mu’jizat berasal dari kata “ajz” yang berarti lemah, kebalikan dari kata qudrah (kuat). Pada dasarnya mu’jiz itu sendiri adalah Sang Khaliq (Alloh SWT) yang menyebabkan selain-Nya. Sebagai bentuk mubalaghah (penegasan) kebenaran berita mengenai betapa lemahnya orang-orang yang didatangi Rasul untuk menentang mu’jiz tersebut maka hurut “ta” marbuthah ditambahkan pada kata mu’jiz. Bentuk mubalaghoh ini juga sering dipakai dalam kata-kata yang lain seperti Al-Allamah dan sebagainya.
Sedangkan Al-Thushi mendefinisikan mu’jizat dengan terjadinya sesuatu yang tidak biasa terjadi atau terjadinya sesuatu yang menggugurkan sesuatu yang biasa terjadi yang disertai dengan perombakan terhadap adat kebiasaan dan hal itu sesuai dengan tuntutan. Pengertian ini adalah pengertian mu’jizat dari segi istilah sebagaimana yang diungkapkan Az-Zarqani “mu’jizat adalah sesuatu yang membuat manusia tidak mampu baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk mendatangkan yang seperti itu”.[7]
Secara garis besarnya, mu’jizat didefinisikan oleh para pakar agama Islam yaitu sebagai suatu hal atau peristiwa luar biasa yang terjadi melalui seorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditantangkan kepada yang ragu untuk melakukan atau mendatangkan hal serupa, namun mereka tidak mampu melayani tantangan itu”.[8]
Mu’jizat dikatakan mu’jizat (melemahkan) karena manusia merasa lemah untuk mendatangkan sesamanya, sebab mu’jizat bertentangan dengan adat, keluar dari batas-batas factor yang telah diketahui. Dan yang dimaksud dengan kemu’jizatan Al-Qur’an bukan berarti melemahkan manusia dengan pengertian melemahkan sebenarnya, maksudnya member pengertian kepada mereka dengan kelemahannya untuk mendatangkan Al-Qur’an tetapi lebih dari itu untuk membuktikan bahwa Muhammad itu betu-betul Rasul.




C.    Unsur dan Tujuan I’jazul Qur’an
1.                Unsur Kemukjizatan Al-Qur’an
Kalau kita memperhatikan definisi mu’jizat yang telah kita sebutkan di atas, maka kita akan menemukan berbagai unsur yang harus dipenuhi untuk menyebut sesuatu itu dinamakan mu’jizat. Unsur-unsur tersebut adalah:
a.       Melanggar kebiasaan alam (hukum-hukum alam).
Pengertian di luar jangkauan hukum-hukum alam tersebut bias diartikan bahwa kita tidak menyangkal sering terjadi hal-hal di luar kebiasaan manusia seperti sihir, hipnotis atau yang biasa terjadi pada orang-orang fasiq. Menarik dari hal tersebut, yang dimaksudkan melanggar kebiasaan alam (luar biasa) dalam hal ini adalah sesuatu yang berada di luar jangkauan sebab akibat yang diketahui secara umum hukum-hukumnya. Dengan demikian hipnotis atau sihir misalnya, walaupun sekilas terlihat luar biasa dan menakjubkan, namun karena dapat dipelajari maka tidak termasuk dalam pengertian melanggar kebiasaan alam sebagaimana tersebut diatas.
Alloh berfirman:
óOs9r& (#÷rts? ¨br& ©!$# t¤y Nä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# x÷t7ór&ur öNä3øn=tæ ¼çmyJyèÏR ZotÎg»sß ZpuZÏÛ$t/ur 3 ……
Artinya:   “Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. .. “ (QS. Lukman: 20)

Sebagaimana yang terjadi pada zaman nabi Nuh AS merintis pembuatan kapal dan berlanjut tahap demi tahap pelaksanaan pembuatan kapal yang sangat controversial. Imam jalaluddin As-Suyuthi menyatakan bahwa kapal tersebut di buat di puncak pegunungan hingga saat itu banyak orang menertawakan dan mengejek keanehan kelakuan Nabi Nuh AS. (baca QS. Hud 36 – 44)
b.      Terjadi atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi.
Kejadian mu’jizat itu sekaligus sebagai pendukung terhadap pengklaiman seorang nabi. Tidak mustahil terjadi di luar kebiasaan hukum alam pada diri siapapun. Namun apabila tidak disampaikan oleh orang yang mengaku nabi maka tidak dinamakan mu’jizat. “boleh jadi sesuatu yang luar biasa tampak pada diri seorang yang kelak bakal menjadi inipun tidak dinamai mu’jizat, akan tetapi disebut irhash. Boleh jadi keluar biasaan itu terjadi pada seorang yang taat dan dicintai oleh Alloh SWT, namun inipun tidak bisa disebut mu’jizat, kejadian yang seperti itu dinamai dengan karomah atau kekeramatan yang bahkan tidak mustahil terjadi pada seseorang yang durhaka pada-Nya. Yang terakhir ini dinamai ihanah (penghinaan) atau istidraj (rangsangan untuk lebih durhaka).[9]
c.       Mengandung tantangan bagi yang meragukan dan tantangan tersebut gagal dilayani.
Tantangan sebagai sarana pembuktian kenabian tentu saja dibarengi dengan pengakuannya sebagai nabi. Kejadian ini bisa dilihat dalam Al-Qur’an dengan berbagai settingnya yang berbeda-beda dari beberapa nabi yang mulia untuk membuktikan bahwa mu’jizat itu hanya dimiliki oleh nabi, bentuk tantangan-tantangan inipun tanpa dibatasi oleh ruang, waktu, obyek dan lain sebagainya.
Saat nabi Musa merasa terdesak dan merasa khawatir terhadap kehebatan sihir anak buah Fir’aun seketika itu juga Alloh memerintahkan kepada Nabi Musa untuk melemparkan tongkatnya. (baca QS. Thaha 63 – 76).
Mu’jizat yang begitu jelas ini benar-benar membungkam para ahli sihir yang ditantang oleh Nabi Musa AS.  Sehingga mereka harus mengakui kekalahannya. Juga tantangan Alloh terhadap jin dan manusia untuk bisa membuat satu surat Al-Qur’an, kalu tidak mampu bikin saja sepuluh ayat, kalau tidak mampu bikin saja satu ayat, tetapi sampai hari ini pun tidak ada yang sanggup membuatnya. Kejadian ini membuktikan bahwa tantangan semacam ini tidak ada yang bisa melaksanakannya. Hal ini menjadi bagian unsure mu’jizat, bila tantangan itu tidak ada yang bisa melaksanakannya.

2.                        Tujuan dan Fungsi Mu’jizat
Mu’jizat berfungsi sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluar biasaan yang tampak atau terjadi melalui mereka itu diibaratkan sebagai ucapan Tuhan: “Apa yang disampaikan nabi adalah benar. Dia adalah utusanku dan buktinya adalah Aku melakukan mu’jizat itu”.
Mu’jizat dari segi bahasa berrti melemahkan sebagaimana dikemukan diatas, namun dari segi agama, tidak dimaksudkan untuk melemahkan atau membuktikan ketidak mampuan yang ditantang. Inti dari mu’jizat semata-mata hanya sebagai bukti bahwa hamba-Nya tersebut adalah nabi. Hal ini menurut M. Quraish Shihab ada dua konsekuensi yang terkandung dalam mu’jizat tersebut.
Pertama,  bagi yang telah percaya kepada Nabi, maka ia tidak lagi membutuhkan mu’jizat. Ia tidak lagi ditantang untuk melakukan hal yang sama. Mu’jizat yang dilihat atau dialaminya hanya berfungsi memperkuat keimanan, serta menambah keyakinan akan kekuasaan Alloh SWT.
Kedua,     para nabi sejak Adam AS hingga Isa AS diutus untuk suatu kaum tertentu serta masyarakat tertentu. Tantangan yang mereka kemukakan sebagi mu’jizat pasti tidak dapat dilakukan oleh umatnya.[10]
Di sisi yang lain dengan adanya mu’jizat terutama mu’jizat Al-Qur’an membuktikan sekaligus punya hikmah tersendiri yang akan terungkap dengan dimensi macam serta ragamnya tanpa batas waktu selama masih ada orang yang meyakini kebenaran Islam.[11]
Memperhatikan berbagai uraian di atas dapat kita pahami tujuan dan fungsi mu’jizat pada dasarnya untuk menunjukkan kekuasaan Alloh dan sebagai bukti bahwa pembawa mu’jizat tersebut betul-betul Nabi utusan Alloh.
3.      Pembagian dan Macam-Macam I’jazul Qur’an
Secara garis besar mu’jizat dibagi dalam dua kelompok:
Pertama, Mu’jizat yang berupa material inderawi, dan
Kedua,     Mu’jizat immaterial.
Kedua bentuk pembagian mu’jizat ini punya karakteristik tersendiri. Mukjizat material inderawi sifatnya sementara dan tidak kekal, walaupun kejadian semacam ini langsung bisa dibuktikan dengan mata telanjang namun hanya akan berlangsung dalam waktu yang singkat.
Misalnya mu’jizat yang diberikan kepada nabi Sulaiman AS tentang kemampuan memahami bahasa binatang dan makhluk-makhluk yang lain, kapalnya nabi Nuh AS dengan air bahnya, Nabi Ibrahim AS dengan kemampuan menundukkan api. Semua kejadian ini hanya bersifat terbatas dari segi waktu juga terbatas dari segi lokasi kejadian.
Sedangkan mu’jizat immaterial ini biasanya mengandalkan daya pikir pemahaman seseorang untuk terus mengkaji dan meneliti. Di sini tidak menutup kemungkinan bentuk i’jaz yang kedua ini sering menjadikan polemic di antara satu orang dengan orang lain.
Kenapa terjadi pembagian bentuk mu’jizat sebagaimana tersebut di atas?
a.       Kondisi nabi sebelum Nabi Muhammad SAW hanya diutus untuk masyarakat tertentu, lagi pula dibatasi oleh waktu tertentu. Kondisi ini berbeda sekali pada zaman Nabi Muhammad SAW dimana risalah kenabiannya untuk semua manusia tanpa oleh ruang, waktu, sehingga mu’jizat tesebut tidak mungkin berbentu materi.
b.      Pemikiran dan pengalaman manusia mengalami beberapa fase. Menurut August Comte (1798 – 1857) berpendapat bahwa pikiran manusia mengalami tiga fase:
1)      Fase keagamaan, dimana karena keterbatasan manusia ia menafsirkan segala apa yang terjadi pada kekuatan Tuhan atau dewa yang disiptakan oleh benaknya
2)      Fase metafisika, dalam fase ini manusia menafsirkan gejala atau fenomena yang ada dengan mengembalikannya kepada prinsip-prinsip yang merupakan sumber awal atau dasarnya, seperti pohon, binatang dan lain-lain.
3)      Fase ilmiah, di mana manusia menafsirkan fenomena yang ada berdasarkan pengamatan, penelitian, eksperimen hingga ditemukan hukum alam yang mengetur fenomena tersebut.[12]
Tanpa membahas kritik-kritik yang menanggapi pendapat diatas, secara umum proses tersebut bias dibenarkan. Umat nabi-nabi sebelum Muhammad SAW memang sangat membutuhkan bukti-bukti inderawi.
Kejadian-kejadian pada zaman Rasul Muhammad SAW membuktikan bahwa mu’jizat beliau tidak bersifat inderawi. Hal ini terbukti saat beliau ditanya oleh sekelompok orang yang butuh mu’jizat sebagaimana nabi-nabi terdahulu. Jawab beliau:
ö@è%  tb$ysö7ß În1u ö@yd àMZä. žwÎ) #ZŽ|³o0 Zwqߧ
Artinya:   “Katakanlah: "Maha Suci Tuhanku, bukankah Aku Ini Hanya seorang manusia yang menjadi rasul?" (QS. Al-Isra’: 93)

Dalam ayat yang lain beliau diperintahkan untuk menjawab:
ö@è% $yJ¯RÎ) àM»tƒFy$# yYÏã «!$# !$yJ¯RÎ)ur O$tRr& ֍ƒÉtR êúüÎ7B
Artinya:   Katakanlah: "Sesungguhnya mukjizat- mukjizat itu terserah kepada Allah. dan Sesungguhnya Aku Hanya seorang pemberi peringatan yang nyata". (QS. Al-Ankabut: 50)

Bahkan dalam ayat yang lain Allah berfirman:
öqs9ur $oYóstFsù NÍköŽn=tã $\/$t/ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# (#q=sàsù ÏmŠÏù tbqã_ã÷ètƒ ÇÊÍÈ (#þqä9$s)s9 $yJ¯RÎ) ôNtÅj3ß $tR㍻|Áö/r& ö@t/ ß`øtwU ×Pöqs% tbrâqßsó¡¨B ÇÊÎÈ
Artinya:  (14) “Dan jika seandainya kami membukakan kepada mereka salah satu dari (pintu-pintu) langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya”, (15) “Tentulah mereka berkata: "Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang orang yang tersihir". (QS. Al-Hijr: 14 – 15)

Jika demikian, maka membuktikan kebenaran suatu ajaran dengan bukti-bukti yang secara rasional dan inderawi tidak membantu mereka yang telah mempunyai kemampuan rasional. Menjadi sangat wajar jika sejak turunnya Al-Qur’an menunjukkan bukti-bukti kerasulan Muhammad SAW tidak dalam bentuk inderawi. Namun demikian tidak berarti bahwa Rasululloh SAW tidak memiliki mu’jizat inderawi. Lihat saja kejadian Rasul saat dari celah jari-jarinya memancarkan air, saat beliau membelah bulan dan sebagainya.

D.    Segi-Segi I’jazul Qur’an
Al-Qur’an merupakan mu’jizat dalam segala seginya, dalam semua keadaannya. Bagian awalnya sama dengan bagian akhirnya, dan bagian tengahnya sama dengan bagian pinggirnya yakni merupakan satu jaringan, satu simetri. Sebuah tatanan yang tinggi, ia adalah mu’jizat dalam harakatnya, huruf-hurufnya, ayatnya, serta surat-suratnya.
“Dalam Al-Qur’an terdapat beribu-ribu mu’jizat”.[13] Para ulama memang berbeda-beda dalam melihat obyek atau segi apa saja kemu’jizatan Al-Qur’an itu.
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa kemu’jizatan Al-Qur’an itu berkaitan dengan keseluruhan Al-Qur’an, bukan hanya dengan bagiannya atau dengan setiap surahnya secara lengkap.[14] 
Dapat kita yakini bahwa semakin maju zaman dan kemampuan peneliti semakin baik, maka akan ditemukan I’jazul Qur’an dalam berbagai dimensinya.
Pada suatu saat Al-Farisi ditanya tentang kedudukan I’jazul Qur’an dan beliau menjawab: “ini adalah masalah yang berat bagi seorang mufti, dan itu sama dengan manusia ditanya tentang kedudukan manusia”.[15]
Berkata Ibnu Athiyah: “Apa yang diyakini umumnya oleh para ahli adalah benar menyangkut segi I’jaz Al-Qur’an, bahwa i'jaz itu berdasarkan susunannya, kesahihan maknanya, serta kefasihan lafadznya”.[16]
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, dapat kita ambil pengertian bahwa pembatasan segi (macam) mu’jizat Al-Qur’an masih bersifat sementara dan hanya perkiraan semata. Hal ini sesuai dengan Firman Alloh SWT:
öqs9ur $yJ¯Rr& Îû ÇÚöF{$# `ÏB >otyfx© ÒO»n=ø%r& ãóst7ø9$#ur ¼çnßJtƒ .`ÏB ¾ÍnÏ÷èt/ èpyèö7y 9çtø2r& $¨B ôNyÏÿtR àM»yJÎ=x. «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# îƒÌtã ÒOŠÅ3ym ÇËÐÈ
Artinya: “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
                                                                                                      (QS. Lukman: 27)
Di sini kita akan menghitung jumlah I’jazul Qur’an, karena kita menyadari tidak akan mampu. Hanya saja pada dasarnya ada beberapa segi kemu’jizatan itu yang bias kita ketahui. Dari beberapa pendapat tentang aspek kemu’jizatan Al-Qur’an, secara garis besar dapat kita bagi dalam tiga hal:
1.      Keindahan Bahasa
Para sejarawan tak ragu-ragu dalam menyatakan bahwa bangsa Arab mencapai tingkat yang belum pernah dicapai oleh bangsa lain, baik sebelum maupun sesudah mereka, dalam hal balaghah (kefasihan bahasa). Mereka juga telah merambah jalan yang belum pernah ditempuh orang lain dalam hal kesempurnaan menyampaikan penjelasan  (Al-Bayan) kemudian dalam menyusun kata-kata serta kelancaran logika.[17]
Oleh karena itu bangsa Arab telah mencapai taraf yang begitu jauh dalam metode balaghah dan seni sastra, baik kaum lelaki maupun wanitanya. Karena sebab itulah, maka Al-Qur’an menantangnya. Menghadapi tantangan Al-Qur’an yang berat dan hebat ini, mereka tak bias berbuat apa-apa selain berpaling kepada tindakan-tindakan peperangan dengan mengerahkan harta dan jiwa mereka untuk menghalangi dakwah Al-qur’an tanpa berani menghadapinya dengan kesatria.
Ketika Walid bin Mughirah datang kepada Nabi, kemudian Nabi membacakan Al-Qur’an di hadapannya maka-seolah-olah hati Walid menjadi lembut karenanya. Berita itu sampai kepada Abu Jahal dan ia mendatanginya seraya berkata: ”Wahai paman Walid, sesungguhnya kaummu hendak mengumpulkan harta untuk diberikan kepadamu sedangkan engkau datang kepada Muhammad untuk mendapatkan anugerahnya”. Walid menjawab: “Orang-orang Quraisy telah tahu betul bahwa saya adalah orang yang paling banyak hartanya”. Abu Jahal berkata: “Apa yang akan kau katakan kepada kaummu tentang pengingkaranmu kepada Muhammad”. Walid menjawab: “Aku akan mengatakan, Demi Allah, tidak ada seorangpun dari kamu yang lebih pandai dari aku, tentang syair, prosa, qasidah, tidak pula dalam syair-syair jin. Demi Allah ucapannya itu manis dan indah di atas berbuah dan yang di bawah subur”. Setelah Walid merenung maka dia mengatakan: “Al-Qur’an ini tidak lain hanyalah sihir yang dipelajari (in hadza illa sihrun yu’tsar).[18]
Banyak ahli bahasa yang berusaha menandingi Al-Qur’an seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Al-Aswad Al-Umsy (yang mengaku nabi dari Yaman) Amnadhar bi Harits, Abul Ma’ari dan lain sebagainya.
Musailamah berusaha menandingi surat Al-Kautsar:
اٍنـا أعطيناك الجماهر # فصـل لربك و جاهر
“Sesungguhnya aku telah memberikan kepadamu orang banyak, shalatlah kepada Tuhanmu dan nyatakan secara terbuka”

Musailamah hanya bias menulis dua ayat saja. Sekarang bandingkan kekayaan makna pada Al-Kautsar (nikmat yang banyak) dengan Al-Jamahir.
Menurut Quraish Shihab, kesempurnaan Al-Qur’an dari segi bahasanya dapat dilihat karena ada komposisi yang pas diantara beberapa hal.



[1]  Muhammad Aly As-Shabuni, “Al-Tibyan Fi Ulum Al-Qur’an”, Beirut, TT., hal. 92
[2] Imam Abi Al-Fida’ Ismail Ibnu Katsir, “Tafsir Ibnu Katsir”. Daarul Fikr, Beirut, 1984, hal. 547
[3]  Mana’ Qattan, “Mabahits fi Ulum Al-Qur’an”, Beirut, TT. Hal. 258
[4]  Muhammad Aly As-Shabuni, “Loc. Cit”.
[5] Muhammad Abdul Azdin Az-Zarqani, “Manahillil Irfan fi Ulumil Qur’an”, Jilid II, Darul Fikr, hal. 331
[6] Abu Zahro An-Najdi, “Min Al-I’jaz Al-Balaghy wa Al-Adady li Al-Qur’an Al-Karim”, terj. Agus Effendi, Pustaka Hidayah, hal. 17
[7] Az-Zarqani, “Manahilil Irfan fi Ulum Al-Qur’an”, Juz I, hal. 66. Kepada pengertian “atau ia adalah suatu hal yang menyalahi kebiasaan yang keluar dari batas-batas sebab akibat yang umum diketahui. Alloh menciptakannya di tangan seorang pengklaim kenabian, pada saat klaimnya dikemukakan sebagai bukti atas kebenarannya”.
[8] M. Quraish Syihab, “Mu’jizat Al-Qur’an”, Mizan, Bandung, hal. 23
[9]  M. Quraish Syihab, Ibid, hal. 24
[10]  Lebih jauh lihat M. Quraish Shihab, hal. 33
[11] M abdul Adzim Az-Zarqani, Op.CIt, hal. 334
[12] Prof. Harun Ar-Rasyidi, Empat Kuliah Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hal. 11
               [13] Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Op. Cit., Hal. 335
               [14] Mana’ Qattan, Op. Cit., hal. 272
               [15] Dr. Daud Al-Athar, “Majas Ulum Al-Qur’an”, terj. Hal. 58
               [16] As-Suyuti, “Al-Itqan”, Darul Fikr, Juz II, Hal. 119
               [17] Al-Thabtaba’I, “Al-Mizan”, Juz I, hal. 66
             [18] Lebih lengkapnya tentang keindahan Al-qur’an dari segi bahasa, lihat Aly As-Shabuni, “At-Tibyan fi Ulumil Qur’an”, hal. 105 – 107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar